Dayah Jeumala Amal

Jl. T. Iskandar Muda Lueng Putu - Piddie Jaya, Nanggroe Aceh Darussalam 24184 Telp/Fax : +62653 - 821123

Foskadja

Forum Silaturrahmi dan Komunikasi Alumni Dayah Jeumala Amal

Senin, 18 November 2013

Puisi: RAPUH

Cipt. Reza Arief Maulana













Debu-debu dosa
telah mengalir keseluruh saraf dan nadi-nadi..

langit seakan tak lagi membiru,
entah karena birahi yang membabi buta...

Berlindunglah dalam setiap do’a,
jangan pernah menangisi
harapan-harapan mati...

Wahai pencipta alam dan se isinya!
aku dibawah payung naungan mu
hapuskanlah debu-debu dosa kami ya tuhan..
ampunkanlah kami..

Aku berkutat gelisah.
tersungkur aku dalam khayalan.
lalu...
aku rapuh,rapuh,
dan semakin rapuh.
hingga nadi tak lagi berdenyut...

Banda Aceh,17 november 2013

Minggu, 10 November 2013

Cerpen: NOSTALGIA

Cipt. Nanda Rizki


Deru daksanya membelah keriuhan suara. awan hitam menghadang cahaya matahari. Rintihan langit telah menganakkan sungai. Angin samudra singgah tanpa keramahan, mengobrak-abrik jiwa yang tenang.

Badai telah berlalu, yang tersisa hanya genangan air yang mendanau dalam lubang-lubang jalan. kolam-kolam yang berjajar di sepanjang badan jalan aspal menjadi tempat bercanda ria hewan-hewan amphibia. Walau terisi air kuning kecoklatan layaknya capucino hangat di sore hari.

“Rahmat!”.
“Rahmat!”, suara itu datang untuk kedua kalinya.
“Rahmat , bangun nak!”
“Iya iya, sebentar lagi mak”.Rahmat mulai merayu.
“Rahmat, bangun salat ashar dulu”.
“Sebentar lagi lah mak”
“Rahmat, uda jam 5. Memangnya mau salat jam berapa kamu?”.
“Iya iya, Rahmat udah bangun”.
“Mandi, shalat, terus jangan lupa bawa sapi ke lapangan!”.
“Iya mak”.

Langkah gontainya terus menyusuri lantai yang beralaskan karpet sederhana. Pandangan yang masih buram ia coba perjelas dengan dua tangannya. Rasa kantuk yang amat sangat masih mencoba merayunya. Perjalanannya terhenti di sebuah ruangan kecil. Sekolam air yang tergenang membuat rasa kantuknya lari terbirit-birit.

Setelah mnyelesaikan kewajiban sebagai muslim, ia mulai merangkak menuju tempat sapi peninggalan kakeknya disekap. Sang sapi terliha berbunga-bunga saat Rahmat sebagai pemiliknya datang. Rahmat mulai membuka pintu gerbang yang terbuat dari anyaman bambu. Anyaman sederhana itu hanya memerlukan dua bambu bulat yang telah diberikan enam lubang. Serta dijadikan sebagai penyangga enam bambu bulat lainnya. Di setiap lubang dari penyanggah kiri dan kanan mewakili satu bambu.

Sapi hitam kecoklatan tersebut, mulai ditutun Rahmat mengarah ke lapangan terbuka. Dalam perjalannya ia terus-menerus menebarkan senyuman kepada khalayak ramai yang dijumpainya. Udara samudra Hindia terus menerpa dengan penuh keramahan. Seraya menelusuri kolam-kolam tempat kodok bercanda ria. Tak terasa perjalanan mereka telah berujung pada sebuah lapangan luas. Lapangan yang ditumbuhi oleh rumput-rumput hijau, membuat mata begitu tertarik dengan pesona alamnya. Rumput-rumput segar terus menggoda si hitam kecoklatan tersebut. Maka, Rahmat pun membiarkannya beranjak begitu saja.

Dalam penulusuran matanya, Rahmat mendapatkan sebuah tempat untuk berteduh. Agar ia dapat menikmati pesonanya sambil menunggu sapinya menyelesaikan urusan. Badannya direbahkan serta mencoba mencari sisi yang nyaman untuk sebuah kenyamanan, sambil menikamati udara segar dan panorama yang menggiurkan.



# # #

“Rahmat, ayo kita jalan jalan sebentar”.
“trus.... sapinya nggak apa-apa di biarin di situ”.
“ah.... tenang aja sapinya nggak bakalan kabur kok”, Si kakek mencoba meyakinkan.
“okelah, kalau begitu kek, ayo kita pergi”.

Angin timur menyapa dengan lembut .serta, terlukiskan matahari terbenam di ufuk barat. Sungguh pesona yang sangat elok untuk di pandang. Mereka menyusuri lorong sempit yang dipayungi oleh pepohonan rindang. Kondisi alam yang belum tersentuh oleh teknologi kota, menebarkan hawa sejuk yang mendamaikan jiwa.

Tiba-tiba langkah mereka terhenti, rasa indah hari itu hilang begitu saja. Sebuah panorama kritis, di ambang kematian. Seekor kerbau muda tergeletak lemas dan kaku dengan perutnya yang sudah membumi. Ia sedang menunggu detik-detik akhir dari hidupnya.

“Rahmat sekarang kamu cari tangkai pepaya yang masih muda dan panjang ya. Lalu kamu bawa kemari oke?”,si kakek meminta pada Rahmat.
“untuk apa kek?”, Rahmat kecil mengajukan sebuah pertanyaan.
“Rahmat lihat kerbau yang disana”, tangan si kakek menunjuk ke atas kerbau tersebut. v “lihat kek, tapi kek kok perutnya buncit?”.
“kerbau itu sedang sekarat, jadi kita harus menolongnya”.
“kenapa harus, kek?”.
“coba seandainya rahmat perutnya jadi buncit seperti kerbau itu. Terus rahmat nggak sangup bangun lagi. Sedih nggak?”.
“iya sih kek, kalau gitu kek ayo kita tolong kerbau itu”.

Bibir keriput si kakek tertarik membentuk simpul yang sederhana.tetapi, sedap untuk dipandang. Melihat cucu kesayangannya begitu bersemangat. Ia pun mulai mendekati kerbau itu setelah rahmat pergi. Si kakek terus mencoba menenangkan kerbau itu.

Kerbau itu terus bergelinangan air mata. terus menahan rasa sakitnya. Rintihanya sungguh menyedihkan. Sampai-sampai manghapus semua keindahan di pagi itu. Ia begitu pasrah dengan nasibnya. Bahkan sudah seperti tak menunggu sebuah pertolongan, melainkan sedang menunggu izrail untuk menjemputnya.

###

Rahmat berusaha keras untuk mendapatkan batang daun pepaya muda. Seribulangkah tak henti ia kerahkan. Lompatan-lompatnnya terus menggelegar, segala halauan dan rintangan luluh lantak di tangannya. Kubangan-kubangan pada jalan aspal dengan mudah ia arungi. Matanya bak mata elang yang terus menyambar ke segala arah. Terus menerawang mencari barang incaran. Layaknya, harimau yang sedang merburu mangsa.

Serentak langkah kilatnya terhenti, mata elangnya telah menemukan hal yang dicari-cari. Tanpa disadari awan hitam telah berkumpul dilangit sana. Awan-awan pembawa air itu sedang bersiap-siap untuk membasahi jagat raya. Perlahan butir-butir air mulai menghujam bumi satu per satu. Dan tanpa diduga tiba-tiba hujan turun begitu derasnya. Rahmat masih berdiri di sana. Tubuhnya yang berpeluh keringat, kini sudah luntur karena hujan. Tubuhnya yang becek karena keringat, kini menjadi menjadi banjir saat hujan mengguyur tubuhnya.

Sungai kecil dengan air jernihnya sempat membuat Rahmat ragu dengan misinya. Rahmat pun menarik nafas panjang untuk memastikan kembali misinya. Serta kemudian mengambil aba-aba, dan memaksakan keyakinannya. Seluruh tenaga mulai ia kumpulkan pada kaki kanannya. Dengan sigap ia berlari secepat kilat. Dan, melompar seakan macan yang akan menerkam mangsanya.

Seakan semuanya terdiam, para jangkrik menghentikan sejenak instrumentalnya. Dan menatap loncatan tersebut dengan pasti. Ikan-ikan kecil terus melongo melihat aksi heroik Rahmat, walau ada rasa gundah di hati jikalau Rahmat akan terjatuh ke dalam sungai. Sedangkan burung hanya terdiam membisu. Serta, menjadi pengamat yang baik.

Kaki kiri Rahmat berhasil mendarat dengan sempurna. Tapi tidak dengan kaki kanannya. Keseimbangan tubuhnya hilang. Serta tanah yang jadi tempat pijakan ambruk sehingga membuat setengah tubuhnya terjatuh ke dalam air. Kedua tangannya berhasil mendapat pegangan pada rumput-rumput di pinggir sungai.

“Berhasil, aku berhasil menyebrangi sungai ini”,ia bergumam dalam dalam desahan nafas yang amburadur.

Tangannya terus menggenggam rumput. Arus sungai tak henti menerjang dan berusaha menghanyutkan setengah tubuh yang tersisa. Dua tangan kurus keringnya mencoba menarik raga dari lidah arus yang menerjang. Ia merangkak pelan dibawah hujan yang terus menghujamnya. Tentunya, setelah ia berhasil kabur dari arus sungai.

Sejenak ia merasa waktu berhenti. Rahmat menutup rapat matanya. Kemudian menarik napas dalam-dalam. Sekilat mata dibukanya, serta mengeluarkan udara dari mulutnya. Ia bangun dan bangkit dari rangkaknya. Meninggalkan semua kelelahan dibibir arus.

Mata elangnya menatap objek buruan, tubuhnya terus mendekat dengan titik pencahariannya. Ia mulai kebingungan dengan apa ia harus menggalah buruan itu. Sejenak terusik ditelinganya “panjat”.

“panjat, hanya itu pilihannya”. Kata-kata itu keluar dari bibirnya ditengah deras hujan, dua tangannya memeluk erat pangkal pohon pepaya dan mulai memanjat dan memanjat. Badannya mulai bergerak naik menuju puncak. Tapi, seberapa banyakpun ia mencoba, tetap saja ia takkan pernah sampai di pucuk sana. Lumut-lumut hijau terus mengacau, kerja sama dan kombinasinya dengan air hujan benar-benar melunturkan perjuangan Rahmat.
“sial !!!” sebongkah duri keluar dari mulutnya.
“Rahmat !, ngapain kamu di sini?” sesosok pemuda lanjut usia datang menyapanya. Secarik tongkat panjang terpaku erat ditangan kirinya. Kulit legamnya yang hanya tertutup oleh selembar celana jeans yang panjangnya hanya tinggal selutut. Tubuh kekarnya, sedap dipandang saat air hujan terus menghujan tubuhnya.
“paman?”. Ia heran saat melihat sosok pamannya tepat didepan matanya.
“ngapain kamu di sini?, macam orang tak ada kerjaan aja kamu”.
“paman kapan pulang dari Malasyia?”. Rahmat kembali bertanya.
“baru Tadi pagi tiba dirumah”.
“oya paman, tolong galahkan satu batang daun pepaya”.
“ untuk apa?”.
“tuh diminta sama kakek”.

Dengan sigap lelaki bertubuh kekar itu, mengancungkan tongkat yang ada di tangannya ke langit. Seraya, menghetak-hentakkannya. Dengan leluasa ia menjatuhkan batang daun pepaya yang dari tadi di cari-cari oleh rahmat. Disusul dengan jatuhnya kembang-kembang bunga pepaya.

“Rahmat, tolong dikumpulkan sebentar bunga katesnya”.

Tanpa beban sedikit pun rahmat memungut bunga-bunga pepaya yang sudah berhamburan di bawah hujan. Kemudian ia mengumpulkannya dalam sebuah wadah dan membungkusnya dengan daun pepaya. Sebagai rasa terima kasih Rahmat menyerahkan pungutannya itu pada pamannya.

“paman terima kasih ya atas bantuannya. Sekarang Rahmat mau mengantarkan pesanan kakek dulu ya paman?.”
“ia sama-sama. Hati-hati di jalan.” Paman membalas ucapannya dengan senyum lebar.

Perjuangan rahmat belum berakhir di situ. Ia masih harus mengantarkan batang daun pepaya itu dengan selamat. Lagi-lagi rahmat harus di uji mentalnya oleh sungai yang sempat berhasil dilewatinya tadi. Dan hampir saja tadi ia tertelan arus pada aksi sebelumnya.

Rahmat kembali mengambil ancang-ancang untuk melakukan penampilan terbaiknya. Hatinya mulai ragu dengan hasilnya. Tapi ia tetap bersi keras untuk melakukan aksinya, dan memaksakan kehendaknya. Ia menarik nafas panjangnya sebagai tanda kebulatan tekadnya. Kembali tenaganya dikumpulkan dan memusatkan pada kaki-kakinya. Meski pada aksi sebelumnya ia mendapat sempat cedera ringan. Tapi tekadnya tetap harus berujung sukses. Dengan segenap tenaga ia berlari secepat kilat dan tiba-tiba.

“Rahmat!!!”. Raungan pamannya menggema sejagad raya. Segenap tenaga dikerahkan untuk untuk menghentikan lajunya. Sejenak keseimbangannya hilang, dan ia sempart terpeleset karena licinnya air hujan.

“woi, ndak ada kerjaan ya. Ngapai Rahmat loncat-loncat sungai?. Tuh lewat jembatan aja sana”.
“o, iyya, kok nggak ingat dikit pun ya?, kalau di sini ada jembatannya”. Ia bergumam dalam derasnya hujan.

Walau tenaganya terkuras habis, tapi semangatnya tak pernah dapat dipatahkan oleh cuaca yang tak mendukung sedikit pun. Bara api semangatnya membakar habis rasa lelahnya.

###

“kakek!”. Teriaknya dari kejauhan. “ini kek, rahmat bawakan batang pepayanya”.

Si kakek tersenyum dengan bibir keriputnya. Ia mengambil batang pepaya yang ada di tangan Rahmat. Sebilah pisau ia keluarkan dari sisi kirinya. Dan membuat pipa sederhana dari batang pepaya tadi.

“kek kira-kira yang akan lahir anaknya betina atau jantan”. Dengan polos cucu si kakek bertanya.
Si kakek hanya tersenyum mendengar pertanyaan cucunya. “sebentar lagi juga ketahuan jantan atau betina”.

Kedua tangan memegang batang pepaya itu layaknya seorang penjuang di era kemerdekaan. Sisi yang lebih kecil dari pipa itu dipersiapkan untuk menusuk pipa pembuangan milik kerbau muda itu.

“Bismillahirahmanirrahim”. Sebilah mantra keluar dari bibir keriputnya. Perlahan si kakek menusuk batang pepaya itu kedalam perut si kerbau. Mulut si kakek tak henti mengucapkan mantra-mantra favoritnya. Matanya menatap tajam pada pipa yang dipegangnya.

Tiba-tiba. “brusss,,,,,”. Bau yang amat manyengat keluar dari pangkal batang pepaya tadi. Dari lubangnya menyembur adonan yang tak sedap dipandang. Warnanya hijau tua kehitam-hitaman, licin, dan mejijikan. Perutnya yang tadinya membumi kini sudah mulai menipis. Tampak dari wajah kerbau itu raut lega.

“eh, kek kok bukan anaknya yang keluar”. Tanya rahmat amat heran
“ini kan kerbau jantan mana mungkin punya anak”.
“ala kakek ni, kok nggak bilang dari tadi. Bikin Rahmat penasaran aja dari tadi”.

Si kakek hanya tersenyum dari tadi. Dua bola matanya terus tertuju ke wajah Rahmat. Ternyata cucunya yang dulunya hanya dapat berbuat ulah kini telah tampak benih-benih kamadiriannya.

###

“duaaar,,,,”. Petir bembelah lamunannya Rahmat. Kepalanya menggeleng-geleng seraya tersenyum lebar. Teringat kisah semasa lalu saat almarhum kakeknya masih bernafas. Ingin rasanya ia bernostalgia kembali kemasa lalu. Mengingat hal itu saja sudah membuat Rahmat gembira. Walau air mata juga ikut berlinang.