Dayah Jeumala Amal

Jl. T. Iskandar Muda Lueng Putu - Piddie Jaya, Nanggroe Aceh Darussalam 24184 Telp/Fax : +62653 - 821123

Foskadja

Forum Silaturrahmi dan Komunikasi Alumni Dayah Jeumala Amal

Kamis, 15 Januari 2015

Cerpen: PECAHAN PIRING KACA

Cipt. Zikrillah

Tak pernah bisa setenang danau. Juga tak sedamai telaga. Namun bagai embun yang akan terjatuh kala sedikit gelombang menyentuh. Seperti juga piring dirumahku, selalu risau menanti detik yang akan merenggut mereka dan kemudian hancur berkeping. 
Baru saja ibu kepala sekolah mengumumkan kelulusanku sebagai murid SD terbaik tahun ini. Tapi tak ada belaian yang menyentuh ubun-ubunku tak juga kata-kata selamat sebagai penghargaan yang kudapati. Padahal umi dan ayah masih makan semeja denganku. Hanya ciuman emak yang jatuh dipipi tadi pagi. Meski pengumuman itu menggema keseluruh komplek SD, aku masih belum puas. Aku ingin mereka berdua, orang tuaku.
Lama sudah aku tak melihat mereka dekat sehasta. Tiga bulan lalu waktu merenggut mereka. Selalu saja piring dan gelas didapur yang menjadi korban. Gemanya terkadang berbaringan dengan suara ibu meraung bagai kucing kesakitan. Kadang kala juga terdengar suara ayah yang memelas.
Aku tak pernah tahu masalah mereka. Saat seuntai tanya kulambung kehadapan ibu, hanya amarah yang menjadi jawaban. Sejurus kemudian aku menghilang dari pandangan mukanya. Aku hanya bisa memberontak pada diriku sendiri. Dan juga dinding rumah yang setia menelan amarahku.
Langkah kaki baru beranjak meninggalkan gang. Penatku membengkak saat bernaung dirumah. Hingga menitahku mencari tempat pengungsian. Rumah nenek yang aku panggil emak menjadi tujuanku nomor satu. Ketentraman disana mampu membunuh jenuh. Emak juga senasip denganku. Tak sanggup lagi mendengar ocehan yang selalu beradu. Bahkan kata-kata emak terkalahkan buas mulut orang tuaku. Ah, biarlah. Aku tak akan mencampuri urusan orang dewasa. Hanya adik-adik yang harus kujaga. Tapi mereka orang tuaku dan juga masa depanku ada pada nafkahnya. Beribu saran dan sanggahan terus bermain dalam fikiran.
“ Duarr !” aku menoleh kearah rumah yang memang masih diujung gang. Ayah keluar dengan tangan yang menutup kepala. Celah jemarinya mengalir darah kental.  Aku berbalik dan berlari menghampiri ayah. Tak berdaya mataku menatap darah yang bersimbah antara jemari. Walau remang kepala ini namun tetap kau merengkuhnya. Mulut tak mampu tak mampu mngucap kata. Aku menggapai tangan kirinya. Kuletakkan tangan itu diatas bahuku. Mencoba tak melirik kearah darah sedikitpun. Sembari diam aku membawanya kembali masuk. Terasa pipi semakin panas. Entah apa yang mengganjal hati ini. Tetesan magma tak dapat tertahan lagi. Pipiku semakin panas. Aku marah. Mencoba mencari kemana kemarahan ini aku lepaskan. Juga sedih karna keuarga yang terpacah ini.
Ayah merunduk dalam disamping meja makan yang penuh ukiran. menatap kaki kursi dengan air mata yang menetes. Sekarung beban menumpu pundak. Aku masih mengertakkan gigi. Berusaha menahan panas dipipi. Sembari menatap punggung umi yang menghadap kolam diluar jendela. Kami hanya terpaku bisu didapur besar ini. Serakan piring dan gelas berserakan dimana-mana. Dalam hati, aku tak akan membeli piring dan gelas kaca bila sudah besar nanti.
Ayah kembali meringgis pedih mengungkapkan segala penyesalan yang mengganjal. Umi meledak lagi dengan amarah. Sedang aku masih melongo tak tahu duduk masalahnya. Adu mulut mereka membuatku berani angkat bicara. 
“Kalian mau membunuh adikku. Aku tak mau melihatnya tertekan karena kalian”. Pekikku lancang membelah gendang suara. Ada sedikit perih ditenggorokanku.
“Sudahlah. Jangan bertingkah. Diamlah!”. Teriakku sembari mencari-cari arah tatapan mereka. Agar mereka tahu penderitaan batin ini. Tak pernah pun aku mengatakan ah terhadap mereka. Namun hari ini aku tak mampu lagi menahannya.
“Kau tak tahu apa-apa anakku”. Ayah tersedu meremas taplak meja lembut itu hingga kerutnya mencuat. “ ini semua salah ayah nak. Ayah memang pantas dihukum nak”.
“Dengar itu nak. Ayahmu adalah pendosa!”. Suara umi membakar kesenduan dengan amarahnya. Kemudian kembali berpaling menatap jendela dengan mata sembab memerah.
“Sudah!. Diam!. Aku akan pergi dari sini. Rumah ini telah menjadi neraka bagiku”. Aku bangkit dengan urat pipi kembang kempis. Serakan pecahan piring menghadang didepan pintu. Langkah melaju dan melesat pergi. Ada sedikit perih yang mengganjal kaki ini. Aku berhenti dihalaman yang penuh rumput lembut dan mencabut beling yang menancap. Darah mengucur deras antara celah jemari kaki. Basahi sandal hingga penuh dengan merahnya.
Di mulut gang dek mun baru pulang mengaji dari mesjid. Berjalan girang dengan robot-robotan ditangnnya. Bocah itu belum tahu apa-apa tentang kejadian yang menimpa ayah dan umi dirumah. Aku berlari menghampirinya dengan pincang. Darah masih sederas tadi seakan tak mau berhenti. Aku menarik tangan dek mun. Ia kaget. Aku mengatakan padanya ayah menyuruhku untuk membawanya ketempat emak. Meski ada sedikit kekhawatiran padanya. Tapi ia tetap mengekorku. 
Kini aku tak lagi bisa mengeliat menjalani hidup dengan segudang impian. Cita-cita telah pupus. Tak bisa berharap lebih dalam hidup. Entah pun aku bisa menduduki bangku sekolah favorit yang kuimpi. Mungkin telah hancur berkeping bersama piring dan gelas kaca didapur. Tak ada yang kumengerti. Kelembutan ayah yang selama ini berbalas benci dari umi. Entah lah, yang jelas aku merasa jijik dengan hari yang penuh caci-maki. 
Aku beriring dengan dek mun menuju ke rumah emak. Wajah tertawan sendu. Membuat orang yang menatap heran. Om din yang sedang menggoreng mie terperanjat melihat kami. Tangannya meletakkan piring-pirinr mie. Ia berlari menghampiriku. Pendangan ibanya membuat aku berhenti mngalirkan air mata. Om din paham atas perselisihan ayah umiku. Ia mungkin mendengarnya dari emak. Ia membawa kami ke rumah emak yang memang tak seberapa jauh dari warungnya. Sesamapai aku dirumah emak aku langsung terduduk diatas dipan. Om din membersihkan lukaku dengan air bersih yang mengalir didepan rumah. Kemudian ia membalutnya dan langsung berpamitan pergi karena tak ada yang menjaga warungnya. macek juga lagi terbaring dirumah. Sehingga tak mungkin ia dapat membantu om din menjaga warung.
Aku mencari sosok Emak yang tak kudapati saat memasuki pintu rumah ini. Hanya tumpukan karung kakao dan pinang yang menumpuk rapi disudut ruangan. Pintu tertutup tanpa terkunci. Tak juga aku menemukan emak dalam kamarnya. Berarti emak tak jauh dari rumah. Atau mungkin emak lagi menggiling kopi dirumah nek cut.
Entah apa yang menarikku disini. Aku dan adikku merasa tentram tinggal dirumah emak. Tak lagi mendengar  piring - piring pecah. Rumah emak memang tak sebagus rumahku, hanya berdinding papan yang keran dan juga sedikit semen untuk lantai. Rumah panggung ini dikenal hanya dimiliki oleh orang - orang kaya dulu. Ketika kakekku masih seusia ayahku sekarang. Dia persis seperti ayah yang tak mau kalah, berusaha lebih dari orang - orang kampungku. Ayah punya rumah yang terlalu besar untuk kami berempat. Juga mobil yang kukira tidak cocok jika berada dikampung kami, yang sering membuat aku risih kala diantar jemput disekolahku dulu.
Dengan terseok - seok  aku bangkit dari atas tumpukan karung. Membiarkan dek yun yang masih duduk diatas dipan. Langkah tertatih mengitari rumah panggung dan beton ini. Mata menjalar antara celah pohon kakau. Berharap menemukan emak yang sedang memberi makan bebek, atau sedang  memetik kakau. Tapi tak kudapati emak seperti yang kuharapkan.
Emak menyapu keringat dengan ujung kerudungnya. Keperkasaan seorang wanita desa terpancar cerah diraut muka. Aku menemukan ia mencangkul diladang kecil dengan tangan rentanya sendiri. Ya, ladang yang baru saja aku lihat hari ini diantara pohon – pohon kakau.
Tak pernah lagi emak kekbun kopi, semenjak om Boy ditangkap polisi menanami kebun dengan racun hijau disebut ganja oleh warga. Om Boy memangkas banyak pohon kopi hingga tersisa satu dua dipojok, hanya untuk ditanami pohon haram itu. Ia tertangkap bersamanya tanpa sempat mengecap sepeserpun hasil. Itu lebih bagus kata emak. Dari pada harus menanggung dosa terus menerus. Kata – kata emak saja tak pernah om Boy hiraukan. Andai saja om Boy meneruskan usaha kakek, pasti rumah ini penuh dengan aroma kopi berpuluh karung trsimpan disini. Seperti saat kecilku ketika almarhum kakek masih kuat menggendong aku dan dek Yun bersamaan. 
“Mak !” aku memanggilnya setengah berteriak. Wanita itu menoleh dan menghentikan gerakan cangkul. Ia tergopoh kearahku. Memelukku dengan penuh kekhawatiran. Aku tak peduli dengan lusuh bajunya hingga menumpahkan tangisku. Tangan-tangan ku semakin erat merangkulnya. Berharap penderitaan ini habis membaur bersama baju lusuh itu.
“Umi dan ayahmu bertengkar lagi ?” emak menyapu air mataku. Aku beranjak membawanya pulang kerumah. Adikku juga membutuhkannya disana.
“Biarlah mereka, tinggallah disini, adikmu kesekolah dan mengaji biar emak suruh si Ujang untuk mengantar mereka” jawab emak tenang kala aku menceritakan hal tadi sore yang terjadi dirumahku. Baru aku menyadari tirai malam hampir tergerai sempurna. Masih sisakan sedikit rasa kecemasan dan gema suara panggilan. Badanku masih lengket beserta semua kesedihan. Biaralah air sedikit  menyejukkan  hati.
Malam terselimuti kelam yang sempurna. Aku hanya melihat guntur yang sekali-sekali menyambar  tanpa bintang sedikitpun. Jendela rumah yang hanya tersilang bambu menghembuskan hawa malam dingin dan ganas.
Dek Yun masih terbata mengeja hijaiiyah. Namun emak masih saja setia tersenyum, memancarkan setingkat keikhlasan yang terukur. Tak seperti Umi, ketika mengajarkanku saja ditemani rotan mungil yang mengerikan. Tapi kini aku merindukan umi. Dua bulan sudah aku tak mendengarnya berteriak menyuruhku ngaji. Tak pernah lagi lari terbirit mengejarku untuk mandi sore. Aku ingin mereka kembali. 

Cerpen: DUNIA DIGENGGAMAN

Cipt. Indah Mardhatillah

Waktu seakan lambat berputar. Dua jam mata pelajaran yang akan terlewati dalam proses belajar mengajar ini berlangsung lama. Murid terlihat bosan dengan pelajaran hari ini, sehingga suasana menjadi hening dan lesu. Hanya suara Pak Ilyas terus berpacu dengan gema ruangan berlumur cat biru yang berisi penuh coretan huruf abjad yang telah tersulap menjadi beribu kata.
Pandanganku lurus ke depan, menatap sepetak papan putih yang menempel di dinding kelas. Kebingungan terus melanda saraf otakku, rasanya terjatuh dalam dunia maya. “Bagaimana bisa terhafalkan semua itu”. Pikirku.
Lamunan terus berlanjut. Tanpa kusadari seseorang milirik dan memperhatikan dengan wajah serius. Dua tungkai tangannya memangku dagu, bibirnya diciutkan. Hidung mancungnya yang  berada di antara mata berwarna hitam nampak kembang kempis. Alis tebal berpadu dengan rambut lebatnya mempertegas ketegasannya. 
“Ada yang tidak mengerti ?“ Sayup terdengan suara itu. Aku masih larut dalam angan tanpa menggubris suara bagai bisikan itu. Seakan seluruh panca indraku ikut terhanyut dalam arus yang sama. Sosok simpatik itu masih memperhatikanku. Bagai psikolog ulung seakan dia coba membaca isi otakku. Kali ini dia menatap sambil sesekali menyapu pandang ke arah muridnya yang lain.
“Coba semuanya perhatikan ke papan tulis !”. Aku tersentak mendengar perintah itu. Cepat-cepat aku mengembalikan kesadaranku, tentu saja aku tidak ingin ditegur untuk kedua kalinya. 
 “Hey, kamu ni kenapa sih. Dari tadi ngelamun aja. Stipoku mana ?” Suara Andri teman sebangkuku dengan nada dan volume tinggi kembali membuyarkan fokusku.
“Nih”. Aku mengangkat lengan untuk memberitahu posisi benda itu yang tersembunyi di balik sikuku. Aku tidak berani menoleh. Meski terasa begitu susah kupahami, tapi aku mencoba menerima setiap konsep yang diberikan.
“Siapa yang bersungguh-sungguh pasti bisa”. Ungkapan terterier dan mayoritas ada di lembaga-lembaga pendidikan itu terdengar di telingaku. Semua roh yang sempat terbang kini terkumpul kembali. Paparan ungkapan itu mulai merasuki ulu hati. Seakan pertanyaan yang sempat berkecamuk di kepalaku terjawab sudah. Keyakinan itu tertanam jauh di benakku.
Rajuta kata sarat makna itu bagai sebutir mutiara yang menghiasi berbagai hiasan. Keindahannya mampu membius harapan para insan. Ungkapan itu merupakan motivator ulung  bagiku dalam hasrat menjelajah dunia. Tekad dan tujuan yang telah tergambar mulai runut ku aplikasikan dalam kehidupan. Meskipun tak jarang rasa lelah dan beban menyertai, namun diri telah mengharuskan untuk lebih maju. Layaknya sang petani berusaha menghilangkan perihnya api langit, yang membakar ribuan butiran lemak serta mengaktifkan epidermis lalu mengeluarkan zat sisanya. Lezatnya tatkala keluar biji-biji padi yang memberikan asupan karbohidrat adalah ekspektasinya. “Ingin kuraih nikmat itu, kesungguhan akan mematahkan aral”.
Tidak semudah yang terpikir, selalu ada goda yang menghantui. Keterbatasan diri dalam memahami konsep, menjadikan syetan mudah menghasut. Namun hasrat yang telah menggunung, menjadikan diri pantang menyerah. “Aku harus menjadi musafir ilmu yang mampu mengembalikan  nafsu amara ke dimensi malaikat yaitu dari sisi syaitan ke sisi Tuhan yang Maha Esa”.
“Ada yang bertanya”. Menjelang pelajaran usai, Pak Ilyas memberi kesempatan bagi murid-murid yang ingin bertanya.
“Saya Pak”. Jawabku sambil mengacungkan tangan.
“Maaf Pak, ini di luar pokok bahasan hari ini”
“Ya, silakan”.
“Bagaimana tips untuk selalu mengingat pelajaran yang telah kita pelajari”.
“Hanya satu konsepnya. Lihatlah botol yang mulutnya kecil. Jika kita isi air sekaligus maka dia akan sedikit sekali yang terisi dan sisanya akan tumpah. Sebaliknya jika kita isi secara perlahan maka akan banyaklah air yang terisi dan hanya sedikit yang tumpah. Begitu juga dalam belajar, butuh waktu dan giat secara berkelanjutan”. Kembali untaian konsep teruraikan. Sebaris bibir menebar senyum. Tangan kanan terangkat sejajar dengan bahu masih menegakkan satu telunjuk yang menggabarkan ketegasan. Nada suara yang lantang itu membuatku tercengang. Kembali asaku melambung tinggi. Mengajak sanubari terbang menggapai harapan. Bayangan kesuksesan terlihat lebih nyata. 
“Ekhem. Tumben-tumbenan kamu tanya gitu”. Andri yang dari tadi sibuk menulis sedikit menyikut sikuku.
“Memangnya nggak boleh. Aku mau merubah pola belajarku”. Jawabku semangat.
“Ooo, jadi sekarang mau jadi anak teladan ceritanya. Kenapa nggak sekalian beli aja toko buku biar pande”. Ledek Andri.
“Nggak usah ngejek ya. Tadi Pak Ilyas bilang apa ? Kita belajar harus step by step. Aku yakin pasti bisa”. Terangku penuh semangat.
“Ya ya ya. Percaya deh. Hehehe”. 
Tawa Andri membuat aku jadi jengkel. Ingin aku menonjok bahunya, namun bel istirahat berbunyi. Andri langsung menarik tanganku mengajak ke kantin. Aku terpaksa ikut sahabatku satu ini yang memang hobi makan. Namun jauh di lubuk hati telah tertanam sebuah harapan untuk mampu menjadi yang terbaik. Aku akan terus memotivasi diri agar semua keinginan menjadi kenyataan. Semoga.
***

Cerpen: THE BEST SCENARIO

Cipt. Zakiatul Fuadati

Gelap malam menunjukkan seolah peristiwa itu telah tergaris dalam suratan takdir. Segerombolan wajah seram menghantui keluarga kami, rintik hujan di luar terus membasahi bumi. Seiring menampakkan sebuah keluarga ingin mengadu nasib, tapi entah kemana. Dunia terasa sempit. Kezaliman mulai mengancam negeri ini. Perluru terus melaju ke segala arah, riuh suara bom terdengar memenuhi kedua telingaku.
Kini ujung senjata mereka tertancap tepat di wajah Abi. Mataku terbelalak saat menyaksikan semua kejadian yang tak pernah terlintas dalam pikiranku. Dadaku tersesak seakan memberi isyarat nyawa  Abi sudah di ujung peluru.
Tanpa tersadari aku jatuh dalam pengkuan Ummi. Sebongkah kata keluar dari mulut yang kaku.
“Ummi. Abi..., kenapa Abi ? Ada apa dengan Abi ? Abi salah apa, Ummi ?” Deret pertanyaan terus terlontar hingga butiran air mata ummi mengalir lembut atas wajahnya.
“Abi baik-baik aja, Zaid” Dengan terbata-bata Ummi  menjawab.
“Tapi, kenapa mereka membawa Abi”.
Sekejab banyangan Abi menghilang dari pandangan. Sekelompok Zionis Israel telah membawa Abi.
Hatiku terus berteriak hendak kemana kami mengadu. Sesaat kemudian mulut Ummi menggerakkan kata.
“Zaid”.
“Iya Ummi”
“Ayo nak, kita sholat. Allahlah tempat kita mengadu”. Suasana hening mengikuti irama kami bermunajat pada Nya. Jarum jam masih menunjukkan 02.30. Butiran air mata terus mengalir, berzikir memohon bantuan Nya. Suara bom masih terdengar dimana-mana.
Kepongahan Israel membombardir Palestina terus membara. Darah terus meruah ditempat di mana kini aku berada. Dengan dalih menggulingkan kekuatan Hamas, Israel telah menghancurkan rumah sakit, universitas dan gedung-gedung pemerintah bahkan berlanjt ke rumah-rumah penduduk sipil.
Aku tetap menjadi anak Palestina, walaupun kedua orang tuaku berdarah Indonesia. Aku terlahir di kota suci ini, terlebih aku besar dan belajar di sini. Aku harus meneruskan perjuangan Abi. Berjihad, membela agama dari kekejaman zionis.
###
“Zaid ingin menjadi anggota Ikhwan Al-Muslimun, boleh nggak Abi  ?”.
“Menjadi pasukan relawan itu tidak mudah nak. Bukan sekedar duduk dan berdiri. Tapi mereka punya tugas tersindiri, dan itu tidak mudah. Apa kamu benar-benar siap, Zaid”.
“Insya Allah, Zaid ingin seperti pemuda-pemuda palestina lain yang hidupnya begitu bermakna”.
“Kalau itu sudah menjadi pilihan kamu, Abi tidak keberatan. Tapi menjadi pasukan Allahu Akbar itu harus bisa membentengi diri dengan iman dan ilmu”.
Malam beranjak tanpa kompromi. Deru tank sekali-kali memecah hening. Dentuman peluru membangunkan lamunanku. Tanpa terasa air mata berderai begitu saja. Gambaran dua hari lalu saat Abi untuk terakhir kali bercerita tentang gerakan yang didirikan Hasan Al-Banna itu kembali membayang. Itulah cerita terakhir menjelang Abi di bawa paksa oleh zionis Israel.
Perlahan aku beranjak dari tempat tidur. Aku berwudhuk dan menunaikan shalat malam, bermohon kepada Allah atas keselamatan Abi. Keinginanku menjadi pasukan Allahu Akbar semakin menjadi, ditambah dengan semangat untuk mencari Abi hingga ke jalur Gaza. “Aku akan mencoba meluluhkan hati Ummi untuk merestuinya”.
 Berhari-hari ku menapaki jalur Gaza, akhirnya sosok yang sangat aku rindukan tampak terseok di depan mesjid Al-Aqsha. Tentara Yahudi mengitari Abi, bersandar di tiang-tiang mesjid. Jarakku hanya tinggal sepuluh langkah. Air mata Abi menahan langkahku, mengisyarakatkan agar aku berlindung dari penglihatan tentara Yahudi.
Gemetar, penuh amarah dan akhirnya tertegun. Tiga peluru akhirnya bersarang di tubuh yang dialiri darah suci. Aku tidak kuasa menahan air mata menyaksikan yang menimpa Abi. Tapi aku harus kuat untuk dapat melanjutkan jihad Abi. Senyuman terakhir yang yang tergambar di raut cerahnya memantapkan jalanku. Bismillah, ku mulai jalani hari bersama Ummi.
###
Tiga puluh enam tahun perjalanan berat terlewati. Harapan untuk sebuah kesuksesan memompa semangatku untuk terus belajar. Tidak pernah lelah, tidak hendak menyerah. Petuah Abi dan kesabaran Ummi mengantarkanku dalam kegemilangan. Kini namaku bergelar Dr. Zaid Al-Qurthubi. Perjuanganku tidak pernah padam. Kini kulakukan melalui kemampuan pikiranku. Kehadiran seorang buah hatiku kembali mewarnai hadupku. Subhanallah, seakan Allah telah menggantikan yang dulu pernah hilang. Keajaiban ! Suatu skenario tak tertebak. The best scenario dari Nya.
####

Cerpen: WAJAH-WAJAH DI RAUT DUKA

Cipt. Zikrillah

“Astaghfirullah ya Allah lana walakum” Gema pengeras suara di meunasah membelah pekat malam. Melesat bersama udara dingin, menyusup nyaring di antara celah-celah dinding. Perlahan mengetuk genderang telinga wanita tua. Dua garis bibir keriput tertarik pelan, menampakkan gigi yang berkarat. Kebahagian memenuhi hati Emak, ketika menangkap suara anaknya yang berkoar dari meunasah. Tiga hari lagi peringatan hari lahir nabi akan tiba. Ada sensasi tersendiri bagi anak-anak desa ini. Berlomba-lomba serentak melantunkan shalawat diiring gerak padu nan indah bagai menjadi tradisi.
Tangan emak yang hanya dibalut kulit kering mengaduk-ngaduk bubur kacang hijau untuk jagoannya pulang nanti. Asap tebal menggelantung rendah dibawah naungan atap hitam. Membuat mata emak sedikit perih. Tak ada bunyi “klik” kompor gas saat dihidupkan disini. Takut hanya akan menghanguskan gubuknya saja, kata emak suatu hari pada  tetangga. Tak juga minyak lampu yang selangit harganya. Hanya kayu-kayu kecil dan kantung kresek tersusun di dapur.
“Assalamu’alaikum, mak?” satu-satunya suara yang yang paling melekat di telinga emak berbunyi di balik pintu. Perlahan daun pintu terbuka. Bocah tujuh tahun itu langsung menghambur ke dapur. Tak ada ruang tamu di gubuk ini. Ruang tamu adalah dapur. 
“Hmm, sedap”. Sarung yang melingkar di pinggang Basri kini menggantung di atas dipan. Kopiah usang keemasan juga bersandar diatasnya. Aroma sedap membuatnya ingin lekas menyantap.

“Mak, Basri mandi di sungai saja ya!” bocah itu berlalu meneteng ember kecil. Tak sempat emak bersuara, bocah itu telah hilang di balik daun pintu. Emak heran kepada Basri. Tak ada yang bisa mencegahnya ke aliran sungai di belakang gubuk itu. Anak tunggal itu terlalu dewasa untuk umurnya sendiri. Ia telah mampu mandiri. Berbagai macam penderitaan ia lalui dengan tegar hati. Ayahnya terbunuh di depannya saat konflik dulu. Tak ada tetesan air mata padanya. Semua hati pasti tersayat ketika memandang Basri kala peristiwa empat tahun lalu itu. Konon peristiwa itulah yang menuntunnya melanjutkan kebiasaannya dulu. Ya, kebiasaan mandi di sungai kala ayah masih ada.
Tak jarang Basri sakit meringkuk di depan dapurnya. Kaki dipan sampai bergetar karena badan Basri menggigil hebat. Banyak orang datang coba untuk mengobati. Mulai dari orang berilmu, teungku sampai mantri. Kata mereka Basri di rasuki ruh jin, setan atau apalah yang berbau mistik dari belakang rumahnnya. Ada pula mereka yang mengatakan bahwa almarhum ayahnya merasuki jasad Basri. Atau hanya bilang demam biasa. Namun Basri tetap tegar. Bocah itu begitu kuat. Dan Basri tetap saja  kerap kali mandi di sungai itu.
Gumpalan-gumpalan awan berarak bagai domba-domba di padang rumput. Perlahan semakin pekat warnanya. Emak mempercepat memangkas rumput liar dipematang sawah. Sawah peninggalan kakek Basri jauhnya sekitar satu jam dari rumah. Mau tak mau, emak harus menggarapnya sendiri. Hanya petakan sawah itu yang menghidupi emak dan putranya. Belum saja kerjaan emak usai, hujan turun menghujam bumi. Bagai bintik-bintik kerikil rasanya, perih menimpa kulit. Hujan ini terlalu deras. Emak menyingkir jauh dari persawahan. Ia tak mau jadi korban jilatan petir seperti dua orang dari desa sebelah kemarin lusa.
Emak hanya terpaku dekat sebuah meunasah kecil. Matanya tak luput dari rintik-rintik hujan yang begitu deras. Gelegar petir sesekali meremangkan pandangan. Ia menggigil sembari mencemaskan nasib Basri. Kemana ia akan lari jika banjir bandang Tangse kemarin kembali memperok-porandakan kampung halamannya ini. Pulang dalam hujan sederas ini juga tak mungkin. Emak harus jalan kaki melawan badai ini. Melewati jembatan dan jalan menanjak yang berlekuk. Langit semakin bergemuruh, sama dengan galau hatinya kini.
Aneh. Hujan sore ini bagai membawa hawa yang aneh. Emak semakin miris. Badai ini tak henti menggoyang-goyang padi. Seperti ingin mengupas bijinya yang baru berair susu. Hujan ini terlalu gaduh. Ini bukan seperti guntur. Bukan juga seperti rintik hujan yang pernah menghantam sang meunasah. “Ya, bukankah ini seperti suara benturan bebatuan”.
Emak semakin miris, ia memelototi pepohonan pinus di kaki gunung itu. Dan juga sungainya. Pepohon itu bergerak. Tak jarang tumbang. Ini, banjir. Ya, banjir lagi. Emak tersedu sedan. Ia berteriak-teriak sembari menunjuk sungai di kaki gunung. Aliran kecoklatan itu menyapu sepertiga desa ini. Meunasah yang disinggahi emak, tak tersentuh genangan air. Hanya terhitung lima tiang listrik jauhnya dari banjir yang menyapu. Banjir itu mengangkut kayu-kayu yang terpotong. Juga yang tercabik. Tak ada jaminan rumahnya tak terbawa air. Tapi bagaimana Basri dan sungai di belakang rumah reot itu.
Aliran deras itu membawa sebongkah pesan. Kayu-kayu gelondongan kembali kepada manusia bertangan bejat. Inilah pepohonan yang mereka keruk setiap hari. Jutaan hektar alam hilang, tersentuh tangan bangsat. Bukan hanya mereka yang berimbaskan dendam, tapi juga bagi yang tak berdosa. Banyak tangis yang pecah hanya karena keserakahan segelintir. Betapa negeri ini terasa zalim. Menutup mata dan telinga atas kesalahan  yang terizinkan.  Hanya ini alat komunikasi dari hati ke hati untuk memimpin negeri. Jelas alam tak bisa berkata-kata, tapi punya cara menyampaikan murka. Namun khalifah alam tak pernah sadar, lupa  pertanggungjawaban amanah yang mereka genggam.
Bagi Emak tak penting apa yang terjadi. Yang teringat hanya Basri yang tinggal seorang diri. Emak melangkah cepat ke arah banjir. Menyusuri jalan yang hilang di tutup air. Semua sibuk menyelamatkan harta dan nyawa sendiri. Ada juga yang masih peduli kepada wanita tua itu. Yang melarang emak kembali ke rumahnya hingga banjir mereda. Tapi emak tetap saja inginkan Basri. Dia ingin mencari Basri.
Wanita tua itu mulai berlari membelah badai. Arus yang deras menelan kaki hingga di bawah lutut. Cipratan air melambung-lambung tinggi saat emak berlari. Ia terjatuh dan kemudian bangkit. Nafas sedikit lega saat sampai di tanjakan. Air tak sampai kesini. Emak masih saja berlari menyeberangi jembatan yang telah miring di tabrak arus. Di belakangnya jembatan itu mulai hilang. Mendentung-dentung berguling kesana kemari. Jembatan hancur berkeping. Tanjakan berkelok konon bagai puing reruntuhan jalan layang. Tinggal setengah badan jalan dan tanah pondasi habis terkeruk air. Bebatuan besar berserakan. Tanah longsor berhamburan. Air juga menembus belokan jalan yang bersaluran air. Lebih curam lagi, tak ada monyet-monyet pengemis yang duduk berkelompok. Tak seperti setiap sore biasanya. Mereka duduk sembari mencari kutu induk. Juga menunggu uluran tangan dari pengendara yang membawa buah-buahan. Sore ini sunyi dari kehidupan. Gaduh oleh alam yang memporak-porandakan.
Emak semakin tergopoh kala melihat seluruh desanya hampir lenyap di kulum banjir. Tanpa pembeda antara sungai serta jembatan. Tak ada juga perbedaan antara rumah dengan sawah. Semua kian jelas, air deras itu sedang melahap desa ini. Emak terus berjalan ke dalam linangan deras. Semakin lama semakin dalam. Rintik-rintik hujan telah hilang, namun rintik air di mata emak semakin deras. Isaknya semakin keras. Suara emak serak memanggil Basri. Tak pernah Basri menjawab panggilan. Hanya raungan minta tolong yang terdengar. Tiba-tiba emak bergetar hebat. Ia tak lagi melihat gubuknya berdiri di sana. Emak tergelincir. Arus menghanyutkan emak walaupun tangannya mengepak-ngepak tuk mendayung. Tak berhasil. Benturan bertubi-tubi menghantam emak. Ia semakin lemah. Mata tak mampu lagi melihat sekitar. Semuanya samar-samar. Hingga semua berubah menjadi titik gelap.
Perlahan mata itu membuka. Secercah cahaya masuk ke retina. Namun bayangan belum dapat terbaca. Pelan-pelan semua warna dapat dicerna. Bocah tujuh tahunnya tertidur di sampingnya. Tapi dimana ini. Semua dinding ini hijau. Hanya jendela plastik yang menembuskan cahaya.
“Bocah ini yang menyelamatkanmu kemarin” Pria berompi putih tersenyum saat emak meminum obat yang di berikannya. Kepala emak masih terasa sangat berat tuk digerakkan. Dua matanya coba di gerakkan menatap wajah penolong. Rasa syukur menyeruak sepenuh jiwa. Kini hasrat untuk cepat sembuh begitu terpancar diraut tuanya. 
Dua hari kemudian, banyak organisasi berkumpul di desa ini, orang-orang berdatangan membawa lambang. Di kardus dan baju tercetak simbul yang sama. Ada juga dari mahasiswa atau pelajar, mereka coba sedikit menebar empati. Bahkan ada yang datang sambil lantang berujar “Ini disebabkan penambang liar yang terjadi di Tangse dan sekitar”. 
Calon-calon pemimpin negeri, sambil berkoar dan memuji diri. Melalui satu dua kotak mie instan mencoba curi simpati, potret-potret penuh harap kemenangan terpampang besar mewarnai. Wajah-wajah itu berlomba menampilkan diri, sosok-sosok yang haus dikenali. Sering air mata kebohongan coba ditumpah disisi pengungsi. Janji-janji terus dikobar, topeng kemunafikan dibalut dengan slogan ‘pembangunan negeri’. 
Mereka berlalu meninggalkan gambar-gambar besar dengan garis senyum tanpa dosa. Masa depan pengungsi tidak lagi menjadi pikiran. Jadwal kompanye untuk mencapai ambisi mereka lebih utama. Tidak demikian dengan emak, tidak pernah peduli siapa mereka. Biarlah gambar-gambar itu menjadi pelapis lantai, atau menutup celah dinding rumah yang telah terhanyut air. Emak terus menata hidupnya bersama Basri. Berharap penerusnya ini menjadi khalifah dibumi, mengikuti jejak Rasulullah yang menjadi inspirasinya. Ya, tidak ingin sebagai wajah-wajah yang menumpang tenar dibalik duka manusia lain.

***

Cerpen: IMAJINASI

Cipt. Nurul Lisani

Hujan rintik-rintik dengan lembut turun membelai rumput kecil dan tanah yang pertamanya kering. Suaranya yang jatuh di atas atap memberi nada indah tersendiri untukku. Seperti biasa, hujan selalu memiliki pelengkap yaitu udara sejuk yang kadang menyibak sebentar gorden biru jendela kamar. Seolah ia ingin berkunjung menghampiri cepat para pengagumnya. Ia sedang membelai lembut diriku. Sekali-kali kurapatkan jaket dan menarik selimut untuk memerangi hawanya.
Ditanganku, tergenggam erat sebuah buku tebal. Covernya dingin karena turut dibalut hawa sekarang. Tapi itu tak mengurangi niatku untuk tetap memegang erat buku kesayanganku, menunggu waktu yang tepat untuk melanjutkan membaca dan mengarungi setiap huruf-huruf yang tercetak didalamnya. Tak sabar, gemetar dan tersengat.
Akhirnya dengan bersusah payah, kugerakkan tangan yang masih sangat dingin. Membelai lembut covernya. Merasakan jiwa dari setiap huruf dari judulnya dengan telunjuk mungilku. Sengatan listrik menyetrumku lagi. Nafsuku untuk langsung membuka buku tersebut semakin bergejolak. 
Terbukalah buku tebal yang sedari tadi kupegang erat. Cahaya aneka warna dari buku menyenter sempurna seluruh mukaku. Aku tersenyum, meski dadaku sesak karena kesenangan yang teramat sangat. Sekarang, aku tidak peduli dengan apa yang terjadi disekitarku, aku ingin masuk. Aku sangat ingin, bahkan rasa didadaku hampir meledak karena kesenangan. Akhirnya akupun masuk.
###
Sangat panas. Sandal rumah beralas tebal yang kupakai tidak bisa membantu sama sekali. Jaket mulai kulepas. Kaos oblong yang sudah basah sempurna oleh keringat kulepas pula. Keduanya kujadikan sebagai penutup kepala, menutupi otakku yang mendidih. Hanya tinggal celana jean hitam yang masih setia menutup tubuhku. Disaat seperti ini, tidak ada yang lebih kuinginkan selain minum satu tong air es. Sayang beribu sayang, keinginan itu hanya bisa lewat sepintas lalu. Yang ada sekarang hanya daging bakar. Ya, dagingku yang terbakar.
Aku masih berusaha mengangkat kaki, berusaha memindahkan kaki dari tempat yang kupijak menuju 30 cm ke depan. Aku terus melakukan kegiatan ini. Dan syukurlah, hanya berapa menit kegiatan ini kulakukan akhirnya retinaku menangkap sebuah bayangan rumah. Walaupun berat, kulangkahkan kaki lebih cepat menuju bayangan itu.
Kupandangi lekat-lekat bayangan rumah itu. Sudah sangat tua. Mungkin jika ada sedikit saja udara lewat, akan merobohkan rumah itu. Tapi tak apalah, minimal aku bisa sedikit berteduh. Terlebih mungkin pemilik rumah memiliki persediaan air yang banyak. Sejauh mata memandang, tak ada tempat bernaung selain rumah ini. Sekeliling terhampar pasir-pasir kecil yang sekali-kali diterbangkan angin, tidak tumbuh sebatang pohonpun. 
Perlahan pintu rumah kubuka, tepatnya menggeser daun pintu untuk masuk. Sejenak kulihat suasana di dalam. Remang, hanya ada beberapa barang yang sudah rusak tergeletak tak tentu dilengkapi dengan sarang laba-laba. 
“Ah, mungkin aku bisa menemukan segelas air disana”. Tanpa pikir lagi langsung kulangkahkan kaki memasuki rumah tua renta ini. Tepat ketika kakiku menyentuh pasir di dalam, suasana jadi berubah. Sama-sekali berubah.
Dinding yang pertama kulihat hanya dari papan yang sudah lama dimakan rayap, sekarang terpampang keramik berlapis permata. Lantai pasir berubah menjadi lantai berpasir emas. Atap daun yang telah miringpun kini nampak gambar awan yang berarak beraturan dan disana bergantung beberapa batu hijau dan marmer. 
“Bukan main ! Ini bukanlah rumah usang. Ini Istana, bahkan lebih indah dari istana raja-raja dalam dongeng. Siapakah pemilik semua ini ?”
Tenggorokan keringku semakin mengering. Haus semakin menjadi. Keinginan untuk mondar-mandir agar dapat menemukan air semakin bertambah. “Es satu lemari. Oh, betapa lezatnya bertumpahan segar ke atas tubuhku”.
“Bruumm !” 
Kerikil-kerikil es yang banyak  tertuang segar memenuhi sekujur tubuhku. Rasa segar menyelimuti segenap raga. Sejenak, semua kepenatan yang ada hilang sama sekali. Kebahagian luar biasa benar-benar merasuki diriku. Namun sekarang giliran perutku yang berdendang minta diisi. “Jika saja didepanku terletak sebuah meja makan yang dilengkapi 1001 jenis makanan, tentu kebahagian ini semakin lengkap”.
“Paaam !” 
Sebuah meja makan dilengkai 1001 jenis makanan di atasnya tergeletak manis didepanku. Mengundang hasrat untuk menjamah setiap detailnya untuk ku santap. Dengan tamak ku sikat semuanya. Bagai memiliki seribu mulut makanan lezat nan mewah itupun ludes. Perut terasa berat, membuncit dipenuhi makanan. Tubuh mulai malas bergerak, mata enggan untuk melek. Ngantuk pun menyerang. Inginku terlelap di atas singgasana empuk berlapis emas, ditemani dengan dayang-dayang nan cantik yang siap menghembuskan angin dengan kipasnya.  
“Treeng”.
Untuk ketiga kalinya permintaanku terkabul. Lengkap sudah kebahagiaan dunia kurasa. Ingin rasanya terus terlelap indah dalam kesempurnaan ini.
“Hendri. Nak. Hendri ?!”. Suara wanita memanggil.
“Ibu”. Aku terhenyak. Rasa malu membuat mukaku memerah.
“Are you ok, son ?” Lanjut ibu penuh heran sambil mengangkat sebelah keningnya.
“Ya... “ Jawabku masih agak gugup.
“What are you doing just now ?”
“Just reading” Aku tunjukkan buku ditanganku.
“Kamu bergerak dengan gerakan aneh. Membuka baju dan berakting aneh. What happen with you ?” Selidik ibu.
“Tidak, Hendri hanya membaca buku”. Aku coba meyakinkan.
Tidak ingin terlalu mempermasalahkan dengan apa yang dilihat, akhirnya ibu keluar dari kamarku setelah meyakini aku baik-baik saja. Setelah pintu kamar tertutup dan yakin ibu telah pergi, aku lanjutkan kegiatan yang sempat terhenti. Mataku kembali menatap buku tebal yang belum sempurna tertutup di tanganku. Perlahan aku bolak-balik buku tebal itu.
“IMAJINASI” Kubaca judul buku tersebut penuh ketakjuban. Aku ingin masuk lagi. Masuk lebih dalam lagi. Darahku mendidih kembali karena keinginan ini. Perlahan kubuka kembali buku ajaib. Cahaya warna-warni menyambutku senang. Aku telah masuk dan menyatu kembali. Sekarang aku telah disana. Masuk dalam buku yang membawaku dalam dunia imajinasi tanpa batas. 
***







Senin, 18 November 2013

Puisi: RAPUH

Cipt. Reza Arief Maulana













Debu-debu dosa
telah mengalir keseluruh saraf dan nadi-nadi..

langit seakan tak lagi membiru,
entah karena birahi yang membabi buta...

Berlindunglah dalam setiap do’a,
jangan pernah menangisi
harapan-harapan mati...

Wahai pencipta alam dan se isinya!
aku dibawah payung naungan mu
hapuskanlah debu-debu dosa kami ya tuhan..
ampunkanlah kami..

Aku berkutat gelisah.
tersungkur aku dalam khayalan.
lalu...
aku rapuh,rapuh,
dan semakin rapuh.
hingga nadi tak lagi berdenyut...

Banda Aceh,17 november 2013

Minggu, 10 November 2013

Cerpen: NOSTALGIA

Cipt. Nanda Rizki


Deru daksanya membelah keriuhan suara. awan hitam menghadang cahaya matahari. Rintihan langit telah menganakkan sungai. Angin samudra singgah tanpa keramahan, mengobrak-abrik jiwa yang tenang.

Badai telah berlalu, yang tersisa hanya genangan air yang mendanau dalam lubang-lubang jalan. kolam-kolam yang berjajar di sepanjang badan jalan aspal menjadi tempat bercanda ria hewan-hewan amphibia. Walau terisi air kuning kecoklatan layaknya capucino hangat di sore hari.

“Rahmat!”.
“Rahmat!”, suara itu datang untuk kedua kalinya.
“Rahmat , bangun nak!”
“Iya iya, sebentar lagi mak”.Rahmat mulai merayu.
“Rahmat, bangun salat ashar dulu”.
“Sebentar lagi lah mak”
“Rahmat, uda jam 5. Memangnya mau salat jam berapa kamu?”.
“Iya iya, Rahmat udah bangun”.
“Mandi, shalat, terus jangan lupa bawa sapi ke lapangan!”.
“Iya mak”.

Langkah gontainya terus menyusuri lantai yang beralaskan karpet sederhana. Pandangan yang masih buram ia coba perjelas dengan dua tangannya. Rasa kantuk yang amat sangat masih mencoba merayunya. Perjalanannya terhenti di sebuah ruangan kecil. Sekolam air yang tergenang membuat rasa kantuknya lari terbirit-birit.

Setelah mnyelesaikan kewajiban sebagai muslim, ia mulai merangkak menuju tempat sapi peninggalan kakeknya disekap. Sang sapi terliha berbunga-bunga saat Rahmat sebagai pemiliknya datang. Rahmat mulai membuka pintu gerbang yang terbuat dari anyaman bambu. Anyaman sederhana itu hanya memerlukan dua bambu bulat yang telah diberikan enam lubang. Serta dijadikan sebagai penyangga enam bambu bulat lainnya. Di setiap lubang dari penyanggah kiri dan kanan mewakili satu bambu.

Sapi hitam kecoklatan tersebut, mulai ditutun Rahmat mengarah ke lapangan terbuka. Dalam perjalannya ia terus-menerus menebarkan senyuman kepada khalayak ramai yang dijumpainya. Udara samudra Hindia terus menerpa dengan penuh keramahan. Seraya menelusuri kolam-kolam tempat kodok bercanda ria. Tak terasa perjalanan mereka telah berujung pada sebuah lapangan luas. Lapangan yang ditumbuhi oleh rumput-rumput hijau, membuat mata begitu tertarik dengan pesona alamnya. Rumput-rumput segar terus menggoda si hitam kecoklatan tersebut. Maka, Rahmat pun membiarkannya beranjak begitu saja.

Dalam penulusuran matanya, Rahmat mendapatkan sebuah tempat untuk berteduh. Agar ia dapat menikmati pesonanya sambil menunggu sapinya menyelesaikan urusan. Badannya direbahkan serta mencoba mencari sisi yang nyaman untuk sebuah kenyamanan, sambil menikamati udara segar dan panorama yang menggiurkan.



# # #

“Rahmat, ayo kita jalan jalan sebentar”.
“trus.... sapinya nggak apa-apa di biarin di situ”.
“ah.... tenang aja sapinya nggak bakalan kabur kok”, Si kakek mencoba meyakinkan.
“okelah, kalau begitu kek, ayo kita pergi”.

Angin timur menyapa dengan lembut .serta, terlukiskan matahari terbenam di ufuk barat. Sungguh pesona yang sangat elok untuk di pandang. Mereka menyusuri lorong sempit yang dipayungi oleh pepohonan rindang. Kondisi alam yang belum tersentuh oleh teknologi kota, menebarkan hawa sejuk yang mendamaikan jiwa.

Tiba-tiba langkah mereka terhenti, rasa indah hari itu hilang begitu saja. Sebuah panorama kritis, di ambang kematian. Seekor kerbau muda tergeletak lemas dan kaku dengan perutnya yang sudah membumi. Ia sedang menunggu detik-detik akhir dari hidupnya.

“Rahmat sekarang kamu cari tangkai pepaya yang masih muda dan panjang ya. Lalu kamu bawa kemari oke?”,si kakek meminta pada Rahmat.
“untuk apa kek?”, Rahmat kecil mengajukan sebuah pertanyaan.
“Rahmat lihat kerbau yang disana”, tangan si kakek menunjuk ke atas kerbau tersebut. v “lihat kek, tapi kek kok perutnya buncit?”.
“kerbau itu sedang sekarat, jadi kita harus menolongnya”.
“kenapa harus, kek?”.
“coba seandainya rahmat perutnya jadi buncit seperti kerbau itu. Terus rahmat nggak sangup bangun lagi. Sedih nggak?”.
“iya sih kek, kalau gitu kek ayo kita tolong kerbau itu”.

Bibir keriput si kakek tertarik membentuk simpul yang sederhana.tetapi, sedap untuk dipandang. Melihat cucu kesayangannya begitu bersemangat. Ia pun mulai mendekati kerbau itu setelah rahmat pergi. Si kakek terus mencoba menenangkan kerbau itu.

Kerbau itu terus bergelinangan air mata. terus menahan rasa sakitnya. Rintihanya sungguh menyedihkan. Sampai-sampai manghapus semua keindahan di pagi itu. Ia begitu pasrah dengan nasibnya. Bahkan sudah seperti tak menunggu sebuah pertolongan, melainkan sedang menunggu izrail untuk menjemputnya.

###

Rahmat berusaha keras untuk mendapatkan batang daun pepaya muda. Seribulangkah tak henti ia kerahkan. Lompatan-lompatnnya terus menggelegar, segala halauan dan rintangan luluh lantak di tangannya. Kubangan-kubangan pada jalan aspal dengan mudah ia arungi. Matanya bak mata elang yang terus menyambar ke segala arah. Terus menerawang mencari barang incaran. Layaknya, harimau yang sedang merburu mangsa.

Serentak langkah kilatnya terhenti, mata elangnya telah menemukan hal yang dicari-cari. Tanpa disadari awan hitam telah berkumpul dilangit sana. Awan-awan pembawa air itu sedang bersiap-siap untuk membasahi jagat raya. Perlahan butir-butir air mulai menghujam bumi satu per satu. Dan tanpa diduga tiba-tiba hujan turun begitu derasnya. Rahmat masih berdiri di sana. Tubuhnya yang berpeluh keringat, kini sudah luntur karena hujan. Tubuhnya yang becek karena keringat, kini menjadi menjadi banjir saat hujan mengguyur tubuhnya.

Sungai kecil dengan air jernihnya sempat membuat Rahmat ragu dengan misinya. Rahmat pun menarik nafas panjang untuk memastikan kembali misinya. Serta kemudian mengambil aba-aba, dan memaksakan keyakinannya. Seluruh tenaga mulai ia kumpulkan pada kaki kanannya. Dengan sigap ia berlari secepat kilat. Dan, melompar seakan macan yang akan menerkam mangsanya.

Seakan semuanya terdiam, para jangkrik menghentikan sejenak instrumentalnya. Dan menatap loncatan tersebut dengan pasti. Ikan-ikan kecil terus melongo melihat aksi heroik Rahmat, walau ada rasa gundah di hati jikalau Rahmat akan terjatuh ke dalam sungai. Sedangkan burung hanya terdiam membisu. Serta, menjadi pengamat yang baik.

Kaki kiri Rahmat berhasil mendarat dengan sempurna. Tapi tidak dengan kaki kanannya. Keseimbangan tubuhnya hilang. Serta tanah yang jadi tempat pijakan ambruk sehingga membuat setengah tubuhnya terjatuh ke dalam air. Kedua tangannya berhasil mendapat pegangan pada rumput-rumput di pinggir sungai.

“Berhasil, aku berhasil menyebrangi sungai ini”,ia bergumam dalam dalam desahan nafas yang amburadur.

Tangannya terus menggenggam rumput. Arus sungai tak henti menerjang dan berusaha menghanyutkan setengah tubuh yang tersisa. Dua tangan kurus keringnya mencoba menarik raga dari lidah arus yang menerjang. Ia merangkak pelan dibawah hujan yang terus menghujamnya. Tentunya, setelah ia berhasil kabur dari arus sungai.

Sejenak ia merasa waktu berhenti. Rahmat menutup rapat matanya. Kemudian menarik napas dalam-dalam. Sekilat mata dibukanya, serta mengeluarkan udara dari mulutnya. Ia bangun dan bangkit dari rangkaknya. Meninggalkan semua kelelahan dibibir arus.

Mata elangnya menatap objek buruan, tubuhnya terus mendekat dengan titik pencahariannya. Ia mulai kebingungan dengan apa ia harus menggalah buruan itu. Sejenak terusik ditelinganya “panjat”.

“panjat, hanya itu pilihannya”. Kata-kata itu keluar dari bibirnya ditengah deras hujan, dua tangannya memeluk erat pangkal pohon pepaya dan mulai memanjat dan memanjat. Badannya mulai bergerak naik menuju puncak. Tapi, seberapa banyakpun ia mencoba, tetap saja ia takkan pernah sampai di pucuk sana. Lumut-lumut hijau terus mengacau, kerja sama dan kombinasinya dengan air hujan benar-benar melunturkan perjuangan Rahmat.
“sial !!!” sebongkah duri keluar dari mulutnya.
“Rahmat !, ngapain kamu di sini?” sesosok pemuda lanjut usia datang menyapanya. Secarik tongkat panjang terpaku erat ditangan kirinya. Kulit legamnya yang hanya tertutup oleh selembar celana jeans yang panjangnya hanya tinggal selutut. Tubuh kekarnya, sedap dipandang saat air hujan terus menghujan tubuhnya.
“paman?”. Ia heran saat melihat sosok pamannya tepat didepan matanya.
“ngapain kamu di sini?, macam orang tak ada kerjaan aja kamu”.
“paman kapan pulang dari Malasyia?”. Rahmat kembali bertanya.
“baru Tadi pagi tiba dirumah”.
“oya paman, tolong galahkan satu batang daun pepaya”.
“ untuk apa?”.
“tuh diminta sama kakek”.

Dengan sigap lelaki bertubuh kekar itu, mengancungkan tongkat yang ada di tangannya ke langit. Seraya, menghetak-hentakkannya. Dengan leluasa ia menjatuhkan batang daun pepaya yang dari tadi di cari-cari oleh rahmat. Disusul dengan jatuhnya kembang-kembang bunga pepaya.

“Rahmat, tolong dikumpulkan sebentar bunga katesnya”.

Tanpa beban sedikit pun rahmat memungut bunga-bunga pepaya yang sudah berhamburan di bawah hujan. Kemudian ia mengumpulkannya dalam sebuah wadah dan membungkusnya dengan daun pepaya. Sebagai rasa terima kasih Rahmat menyerahkan pungutannya itu pada pamannya.

“paman terima kasih ya atas bantuannya. Sekarang Rahmat mau mengantarkan pesanan kakek dulu ya paman?.”
“ia sama-sama. Hati-hati di jalan.” Paman membalas ucapannya dengan senyum lebar.

Perjuangan rahmat belum berakhir di situ. Ia masih harus mengantarkan batang daun pepaya itu dengan selamat. Lagi-lagi rahmat harus di uji mentalnya oleh sungai yang sempat berhasil dilewatinya tadi. Dan hampir saja tadi ia tertelan arus pada aksi sebelumnya.

Rahmat kembali mengambil ancang-ancang untuk melakukan penampilan terbaiknya. Hatinya mulai ragu dengan hasilnya. Tapi ia tetap bersi keras untuk melakukan aksinya, dan memaksakan kehendaknya. Ia menarik nafas panjangnya sebagai tanda kebulatan tekadnya. Kembali tenaganya dikumpulkan dan memusatkan pada kaki-kakinya. Meski pada aksi sebelumnya ia mendapat sempat cedera ringan. Tapi tekadnya tetap harus berujung sukses. Dengan segenap tenaga ia berlari secepat kilat dan tiba-tiba.

“Rahmat!!!”. Raungan pamannya menggema sejagad raya. Segenap tenaga dikerahkan untuk untuk menghentikan lajunya. Sejenak keseimbangannya hilang, dan ia sempart terpeleset karena licinnya air hujan.

“woi, ndak ada kerjaan ya. Ngapai Rahmat loncat-loncat sungai?. Tuh lewat jembatan aja sana”.
“o, iyya, kok nggak ingat dikit pun ya?, kalau di sini ada jembatannya”. Ia bergumam dalam derasnya hujan.

Walau tenaganya terkuras habis, tapi semangatnya tak pernah dapat dipatahkan oleh cuaca yang tak mendukung sedikit pun. Bara api semangatnya membakar habis rasa lelahnya.

###

“kakek!”. Teriaknya dari kejauhan. “ini kek, rahmat bawakan batang pepayanya”.

Si kakek tersenyum dengan bibir keriputnya. Ia mengambil batang pepaya yang ada di tangan Rahmat. Sebilah pisau ia keluarkan dari sisi kirinya. Dan membuat pipa sederhana dari batang pepaya tadi.

“kek kira-kira yang akan lahir anaknya betina atau jantan”. Dengan polos cucu si kakek bertanya.
Si kakek hanya tersenyum mendengar pertanyaan cucunya. “sebentar lagi juga ketahuan jantan atau betina”.

Kedua tangan memegang batang pepaya itu layaknya seorang penjuang di era kemerdekaan. Sisi yang lebih kecil dari pipa itu dipersiapkan untuk menusuk pipa pembuangan milik kerbau muda itu.

“Bismillahirahmanirrahim”. Sebilah mantra keluar dari bibir keriputnya. Perlahan si kakek menusuk batang pepaya itu kedalam perut si kerbau. Mulut si kakek tak henti mengucapkan mantra-mantra favoritnya. Matanya menatap tajam pada pipa yang dipegangnya.

Tiba-tiba. “brusss,,,,,”. Bau yang amat manyengat keluar dari pangkal batang pepaya tadi. Dari lubangnya menyembur adonan yang tak sedap dipandang. Warnanya hijau tua kehitam-hitaman, licin, dan mejijikan. Perutnya yang tadinya membumi kini sudah mulai menipis. Tampak dari wajah kerbau itu raut lega.

“eh, kek kok bukan anaknya yang keluar”. Tanya rahmat amat heran
“ini kan kerbau jantan mana mungkin punya anak”.
“ala kakek ni, kok nggak bilang dari tadi. Bikin Rahmat penasaran aja dari tadi”.

Si kakek hanya tersenyum dari tadi. Dua bola matanya terus tertuju ke wajah Rahmat. Ternyata cucunya yang dulunya hanya dapat berbuat ulah kini telah tampak benih-benih kamadiriannya.

###

“duaaar,,,,”. Petir bembelah lamunannya Rahmat. Kepalanya menggeleng-geleng seraya tersenyum lebar. Teringat kisah semasa lalu saat almarhum kakeknya masih bernafas. Ingin rasanya ia bernostalgia kembali kemasa lalu. Mengingat hal itu saja sudah membuat Rahmat gembira. Walau air mata juga ikut berlinang.