Kamis, 15 Januari 2015

Cerpen: IMAJINASI

Cipt. Nurul Lisani

Hujan rintik-rintik dengan lembut turun membelai rumput kecil dan tanah yang pertamanya kering. Suaranya yang jatuh di atas atap memberi nada indah tersendiri untukku. Seperti biasa, hujan selalu memiliki pelengkap yaitu udara sejuk yang kadang menyibak sebentar gorden biru jendela kamar. Seolah ia ingin berkunjung menghampiri cepat para pengagumnya. Ia sedang membelai lembut diriku. Sekali-kali kurapatkan jaket dan menarik selimut untuk memerangi hawanya.
Ditanganku, tergenggam erat sebuah buku tebal. Covernya dingin karena turut dibalut hawa sekarang. Tapi itu tak mengurangi niatku untuk tetap memegang erat buku kesayanganku, menunggu waktu yang tepat untuk melanjutkan membaca dan mengarungi setiap huruf-huruf yang tercetak didalamnya. Tak sabar, gemetar dan tersengat.
Akhirnya dengan bersusah payah, kugerakkan tangan yang masih sangat dingin. Membelai lembut covernya. Merasakan jiwa dari setiap huruf dari judulnya dengan telunjuk mungilku. Sengatan listrik menyetrumku lagi. Nafsuku untuk langsung membuka buku tersebut semakin bergejolak. 
Terbukalah buku tebal yang sedari tadi kupegang erat. Cahaya aneka warna dari buku menyenter sempurna seluruh mukaku. Aku tersenyum, meski dadaku sesak karena kesenangan yang teramat sangat. Sekarang, aku tidak peduli dengan apa yang terjadi disekitarku, aku ingin masuk. Aku sangat ingin, bahkan rasa didadaku hampir meledak karena kesenangan. Akhirnya akupun masuk.
###
Sangat panas. Sandal rumah beralas tebal yang kupakai tidak bisa membantu sama sekali. Jaket mulai kulepas. Kaos oblong yang sudah basah sempurna oleh keringat kulepas pula. Keduanya kujadikan sebagai penutup kepala, menutupi otakku yang mendidih. Hanya tinggal celana jean hitam yang masih setia menutup tubuhku. Disaat seperti ini, tidak ada yang lebih kuinginkan selain minum satu tong air es. Sayang beribu sayang, keinginan itu hanya bisa lewat sepintas lalu. Yang ada sekarang hanya daging bakar. Ya, dagingku yang terbakar.
Aku masih berusaha mengangkat kaki, berusaha memindahkan kaki dari tempat yang kupijak menuju 30 cm ke depan. Aku terus melakukan kegiatan ini. Dan syukurlah, hanya berapa menit kegiatan ini kulakukan akhirnya retinaku menangkap sebuah bayangan rumah. Walaupun berat, kulangkahkan kaki lebih cepat menuju bayangan itu.
Kupandangi lekat-lekat bayangan rumah itu. Sudah sangat tua. Mungkin jika ada sedikit saja udara lewat, akan merobohkan rumah itu. Tapi tak apalah, minimal aku bisa sedikit berteduh. Terlebih mungkin pemilik rumah memiliki persediaan air yang banyak. Sejauh mata memandang, tak ada tempat bernaung selain rumah ini. Sekeliling terhampar pasir-pasir kecil yang sekali-kali diterbangkan angin, tidak tumbuh sebatang pohonpun. 
Perlahan pintu rumah kubuka, tepatnya menggeser daun pintu untuk masuk. Sejenak kulihat suasana di dalam. Remang, hanya ada beberapa barang yang sudah rusak tergeletak tak tentu dilengkapi dengan sarang laba-laba. 
“Ah, mungkin aku bisa menemukan segelas air disana”. Tanpa pikir lagi langsung kulangkahkan kaki memasuki rumah tua renta ini. Tepat ketika kakiku menyentuh pasir di dalam, suasana jadi berubah. Sama-sekali berubah.
Dinding yang pertama kulihat hanya dari papan yang sudah lama dimakan rayap, sekarang terpampang keramik berlapis permata. Lantai pasir berubah menjadi lantai berpasir emas. Atap daun yang telah miringpun kini nampak gambar awan yang berarak beraturan dan disana bergantung beberapa batu hijau dan marmer. 
“Bukan main ! Ini bukanlah rumah usang. Ini Istana, bahkan lebih indah dari istana raja-raja dalam dongeng. Siapakah pemilik semua ini ?”
Tenggorokan keringku semakin mengering. Haus semakin menjadi. Keinginan untuk mondar-mandir agar dapat menemukan air semakin bertambah. “Es satu lemari. Oh, betapa lezatnya bertumpahan segar ke atas tubuhku”.
“Bruumm !” 
Kerikil-kerikil es yang banyak  tertuang segar memenuhi sekujur tubuhku. Rasa segar menyelimuti segenap raga. Sejenak, semua kepenatan yang ada hilang sama sekali. Kebahagian luar biasa benar-benar merasuki diriku. Namun sekarang giliran perutku yang berdendang minta diisi. “Jika saja didepanku terletak sebuah meja makan yang dilengkapi 1001 jenis makanan, tentu kebahagian ini semakin lengkap”.
“Paaam !” 
Sebuah meja makan dilengkai 1001 jenis makanan di atasnya tergeletak manis didepanku. Mengundang hasrat untuk menjamah setiap detailnya untuk ku santap. Dengan tamak ku sikat semuanya. Bagai memiliki seribu mulut makanan lezat nan mewah itupun ludes. Perut terasa berat, membuncit dipenuhi makanan. Tubuh mulai malas bergerak, mata enggan untuk melek. Ngantuk pun menyerang. Inginku terlelap di atas singgasana empuk berlapis emas, ditemani dengan dayang-dayang nan cantik yang siap menghembuskan angin dengan kipasnya.  
“Treeng”.
Untuk ketiga kalinya permintaanku terkabul. Lengkap sudah kebahagiaan dunia kurasa. Ingin rasanya terus terlelap indah dalam kesempurnaan ini.
“Hendri. Nak. Hendri ?!”. Suara wanita memanggil.
“Ibu”. Aku terhenyak. Rasa malu membuat mukaku memerah.
“Are you ok, son ?” Lanjut ibu penuh heran sambil mengangkat sebelah keningnya.
“Ya... “ Jawabku masih agak gugup.
“What are you doing just now ?”
“Just reading” Aku tunjukkan buku ditanganku.
“Kamu bergerak dengan gerakan aneh. Membuka baju dan berakting aneh. What happen with you ?” Selidik ibu.
“Tidak, Hendri hanya membaca buku”. Aku coba meyakinkan.
Tidak ingin terlalu mempermasalahkan dengan apa yang dilihat, akhirnya ibu keluar dari kamarku setelah meyakini aku baik-baik saja. Setelah pintu kamar tertutup dan yakin ibu telah pergi, aku lanjutkan kegiatan yang sempat terhenti. Mataku kembali menatap buku tebal yang belum sempurna tertutup di tanganku. Perlahan aku bolak-balik buku tebal itu.
“IMAJINASI” Kubaca judul buku tersebut penuh ketakjuban. Aku ingin masuk lagi. Masuk lebih dalam lagi. Darahku mendidih kembali karena keinginan ini. Perlahan kubuka kembali buku ajaib. Cahaya warna-warni menyambutku senang. Aku telah masuk dan menyatu kembali. Sekarang aku telah disana. Masuk dalam buku yang membawaku dalam dunia imajinasi tanpa batas. 
***







0 komentar:

Posting Komentar