Kamis, 15 Januari 2015

Cerpen: PECAHAN PIRING KACA

Cipt. Zikrillah

Tak pernah bisa setenang danau. Juga tak sedamai telaga. Namun bagai embun yang akan terjatuh kala sedikit gelombang menyentuh. Seperti juga piring dirumahku, selalu risau menanti detik yang akan merenggut mereka dan kemudian hancur berkeping. 
Baru saja ibu kepala sekolah mengumumkan kelulusanku sebagai murid SD terbaik tahun ini. Tapi tak ada belaian yang menyentuh ubun-ubunku tak juga kata-kata selamat sebagai penghargaan yang kudapati. Padahal umi dan ayah masih makan semeja denganku. Hanya ciuman emak yang jatuh dipipi tadi pagi. Meski pengumuman itu menggema keseluruh komplek SD, aku masih belum puas. Aku ingin mereka berdua, orang tuaku.
Lama sudah aku tak melihat mereka dekat sehasta. Tiga bulan lalu waktu merenggut mereka. Selalu saja piring dan gelas didapur yang menjadi korban. Gemanya terkadang berbaringan dengan suara ibu meraung bagai kucing kesakitan. Kadang kala juga terdengar suara ayah yang memelas.
Aku tak pernah tahu masalah mereka. Saat seuntai tanya kulambung kehadapan ibu, hanya amarah yang menjadi jawaban. Sejurus kemudian aku menghilang dari pandangan mukanya. Aku hanya bisa memberontak pada diriku sendiri. Dan juga dinding rumah yang setia menelan amarahku.
Langkah kaki baru beranjak meninggalkan gang. Penatku membengkak saat bernaung dirumah. Hingga menitahku mencari tempat pengungsian. Rumah nenek yang aku panggil emak menjadi tujuanku nomor satu. Ketentraman disana mampu membunuh jenuh. Emak juga senasip denganku. Tak sanggup lagi mendengar ocehan yang selalu beradu. Bahkan kata-kata emak terkalahkan buas mulut orang tuaku. Ah, biarlah. Aku tak akan mencampuri urusan orang dewasa. Hanya adik-adik yang harus kujaga. Tapi mereka orang tuaku dan juga masa depanku ada pada nafkahnya. Beribu saran dan sanggahan terus bermain dalam fikiran.
“ Duarr !” aku menoleh kearah rumah yang memang masih diujung gang. Ayah keluar dengan tangan yang menutup kepala. Celah jemarinya mengalir darah kental.  Aku berbalik dan berlari menghampiri ayah. Tak berdaya mataku menatap darah yang bersimbah antara jemari. Walau remang kepala ini namun tetap kau merengkuhnya. Mulut tak mampu tak mampu mngucap kata. Aku menggapai tangan kirinya. Kuletakkan tangan itu diatas bahuku. Mencoba tak melirik kearah darah sedikitpun. Sembari diam aku membawanya kembali masuk. Terasa pipi semakin panas. Entah apa yang mengganjal hati ini. Tetesan magma tak dapat tertahan lagi. Pipiku semakin panas. Aku marah. Mencoba mencari kemana kemarahan ini aku lepaskan. Juga sedih karna keuarga yang terpacah ini.
Ayah merunduk dalam disamping meja makan yang penuh ukiran. menatap kaki kursi dengan air mata yang menetes. Sekarung beban menumpu pundak. Aku masih mengertakkan gigi. Berusaha menahan panas dipipi. Sembari menatap punggung umi yang menghadap kolam diluar jendela. Kami hanya terpaku bisu didapur besar ini. Serakan piring dan gelas berserakan dimana-mana. Dalam hati, aku tak akan membeli piring dan gelas kaca bila sudah besar nanti.
Ayah kembali meringgis pedih mengungkapkan segala penyesalan yang mengganjal. Umi meledak lagi dengan amarah. Sedang aku masih melongo tak tahu duduk masalahnya. Adu mulut mereka membuatku berani angkat bicara. 
“Kalian mau membunuh adikku. Aku tak mau melihatnya tertekan karena kalian”. Pekikku lancang membelah gendang suara. Ada sedikit perih ditenggorokanku.
“Sudahlah. Jangan bertingkah. Diamlah!”. Teriakku sembari mencari-cari arah tatapan mereka. Agar mereka tahu penderitaan batin ini. Tak pernah pun aku mengatakan ah terhadap mereka. Namun hari ini aku tak mampu lagi menahannya.
“Kau tak tahu apa-apa anakku”. Ayah tersedu meremas taplak meja lembut itu hingga kerutnya mencuat. “ ini semua salah ayah nak. Ayah memang pantas dihukum nak”.
“Dengar itu nak. Ayahmu adalah pendosa!”. Suara umi membakar kesenduan dengan amarahnya. Kemudian kembali berpaling menatap jendela dengan mata sembab memerah.
“Sudah!. Diam!. Aku akan pergi dari sini. Rumah ini telah menjadi neraka bagiku”. Aku bangkit dengan urat pipi kembang kempis. Serakan pecahan piring menghadang didepan pintu. Langkah melaju dan melesat pergi. Ada sedikit perih yang mengganjal kaki ini. Aku berhenti dihalaman yang penuh rumput lembut dan mencabut beling yang menancap. Darah mengucur deras antara celah jemari kaki. Basahi sandal hingga penuh dengan merahnya.
Di mulut gang dek mun baru pulang mengaji dari mesjid. Berjalan girang dengan robot-robotan ditangnnya. Bocah itu belum tahu apa-apa tentang kejadian yang menimpa ayah dan umi dirumah. Aku berlari menghampirinya dengan pincang. Darah masih sederas tadi seakan tak mau berhenti. Aku menarik tangan dek mun. Ia kaget. Aku mengatakan padanya ayah menyuruhku untuk membawanya ketempat emak. Meski ada sedikit kekhawatiran padanya. Tapi ia tetap mengekorku. 
Kini aku tak lagi bisa mengeliat menjalani hidup dengan segudang impian. Cita-cita telah pupus. Tak bisa berharap lebih dalam hidup. Entah pun aku bisa menduduki bangku sekolah favorit yang kuimpi. Mungkin telah hancur berkeping bersama piring dan gelas kaca didapur. Tak ada yang kumengerti. Kelembutan ayah yang selama ini berbalas benci dari umi. Entah lah, yang jelas aku merasa jijik dengan hari yang penuh caci-maki. 
Aku beriring dengan dek mun menuju ke rumah emak. Wajah tertawan sendu. Membuat orang yang menatap heran. Om din yang sedang menggoreng mie terperanjat melihat kami. Tangannya meletakkan piring-pirinr mie. Ia berlari menghampiriku. Pendangan ibanya membuat aku berhenti mngalirkan air mata. Om din paham atas perselisihan ayah umiku. Ia mungkin mendengarnya dari emak. Ia membawa kami ke rumah emak yang memang tak seberapa jauh dari warungnya. Sesamapai aku dirumah emak aku langsung terduduk diatas dipan. Om din membersihkan lukaku dengan air bersih yang mengalir didepan rumah. Kemudian ia membalutnya dan langsung berpamitan pergi karena tak ada yang menjaga warungnya. macek juga lagi terbaring dirumah. Sehingga tak mungkin ia dapat membantu om din menjaga warung.
Aku mencari sosok Emak yang tak kudapati saat memasuki pintu rumah ini. Hanya tumpukan karung kakao dan pinang yang menumpuk rapi disudut ruangan. Pintu tertutup tanpa terkunci. Tak juga aku menemukan emak dalam kamarnya. Berarti emak tak jauh dari rumah. Atau mungkin emak lagi menggiling kopi dirumah nek cut.
Entah apa yang menarikku disini. Aku dan adikku merasa tentram tinggal dirumah emak. Tak lagi mendengar  piring - piring pecah. Rumah emak memang tak sebagus rumahku, hanya berdinding papan yang keran dan juga sedikit semen untuk lantai. Rumah panggung ini dikenal hanya dimiliki oleh orang - orang kaya dulu. Ketika kakekku masih seusia ayahku sekarang. Dia persis seperti ayah yang tak mau kalah, berusaha lebih dari orang - orang kampungku. Ayah punya rumah yang terlalu besar untuk kami berempat. Juga mobil yang kukira tidak cocok jika berada dikampung kami, yang sering membuat aku risih kala diantar jemput disekolahku dulu.
Dengan terseok - seok  aku bangkit dari atas tumpukan karung. Membiarkan dek yun yang masih duduk diatas dipan. Langkah tertatih mengitari rumah panggung dan beton ini. Mata menjalar antara celah pohon kakau. Berharap menemukan emak yang sedang memberi makan bebek, atau sedang  memetik kakau. Tapi tak kudapati emak seperti yang kuharapkan.
Emak menyapu keringat dengan ujung kerudungnya. Keperkasaan seorang wanita desa terpancar cerah diraut muka. Aku menemukan ia mencangkul diladang kecil dengan tangan rentanya sendiri. Ya, ladang yang baru saja aku lihat hari ini diantara pohon – pohon kakau.
Tak pernah lagi emak kekbun kopi, semenjak om Boy ditangkap polisi menanami kebun dengan racun hijau disebut ganja oleh warga. Om Boy memangkas banyak pohon kopi hingga tersisa satu dua dipojok, hanya untuk ditanami pohon haram itu. Ia tertangkap bersamanya tanpa sempat mengecap sepeserpun hasil. Itu lebih bagus kata emak. Dari pada harus menanggung dosa terus menerus. Kata – kata emak saja tak pernah om Boy hiraukan. Andai saja om Boy meneruskan usaha kakek, pasti rumah ini penuh dengan aroma kopi berpuluh karung trsimpan disini. Seperti saat kecilku ketika almarhum kakek masih kuat menggendong aku dan dek Yun bersamaan. 
“Mak !” aku memanggilnya setengah berteriak. Wanita itu menoleh dan menghentikan gerakan cangkul. Ia tergopoh kearahku. Memelukku dengan penuh kekhawatiran. Aku tak peduli dengan lusuh bajunya hingga menumpahkan tangisku. Tangan-tangan ku semakin erat merangkulnya. Berharap penderitaan ini habis membaur bersama baju lusuh itu.
“Umi dan ayahmu bertengkar lagi ?” emak menyapu air mataku. Aku beranjak membawanya pulang kerumah. Adikku juga membutuhkannya disana.
“Biarlah mereka, tinggallah disini, adikmu kesekolah dan mengaji biar emak suruh si Ujang untuk mengantar mereka” jawab emak tenang kala aku menceritakan hal tadi sore yang terjadi dirumahku. Baru aku menyadari tirai malam hampir tergerai sempurna. Masih sisakan sedikit rasa kecemasan dan gema suara panggilan. Badanku masih lengket beserta semua kesedihan. Biaralah air sedikit  menyejukkan  hati.
Malam terselimuti kelam yang sempurna. Aku hanya melihat guntur yang sekali-sekali menyambar  tanpa bintang sedikitpun. Jendela rumah yang hanya tersilang bambu menghembuskan hawa malam dingin dan ganas.
Dek Yun masih terbata mengeja hijaiiyah. Namun emak masih saja setia tersenyum, memancarkan setingkat keikhlasan yang terukur. Tak seperti Umi, ketika mengajarkanku saja ditemani rotan mungil yang mengerikan. Tapi kini aku merindukan umi. Dua bulan sudah aku tak mendengarnya berteriak menyuruhku ngaji. Tak pernah lagi lari terbirit mengejarku untuk mandi sore. Aku ingin mereka kembali. 

0 komentar:

Posting Komentar