Kamis, 15 Januari 2015

Cerpen: WAJAH-WAJAH DI RAUT DUKA

Cipt. Zikrillah

“Astaghfirullah ya Allah lana walakum” Gema pengeras suara di meunasah membelah pekat malam. Melesat bersama udara dingin, menyusup nyaring di antara celah-celah dinding. Perlahan mengetuk genderang telinga wanita tua. Dua garis bibir keriput tertarik pelan, menampakkan gigi yang berkarat. Kebahagian memenuhi hati Emak, ketika menangkap suara anaknya yang berkoar dari meunasah. Tiga hari lagi peringatan hari lahir nabi akan tiba. Ada sensasi tersendiri bagi anak-anak desa ini. Berlomba-lomba serentak melantunkan shalawat diiring gerak padu nan indah bagai menjadi tradisi.
Tangan emak yang hanya dibalut kulit kering mengaduk-ngaduk bubur kacang hijau untuk jagoannya pulang nanti. Asap tebal menggelantung rendah dibawah naungan atap hitam. Membuat mata emak sedikit perih. Tak ada bunyi “klik” kompor gas saat dihidupkan disini. Takut hanya akan menghanguskan gubuknya saja, kata emak suatu hari pada  tetangga. Tak juga minyak lampu yang selangit harganya. Hanya kayu-kayu kecil dan kantung kresek tersusun di dapur.
“Assalamu’alaikum, mak?” satu-satunya suara yang yang paling melekat di telinga emak berbunyi di balik pintu. Perlahan daun pintu terbuka. Bocah tujuh tahun itu langsung menghambur ke dapur. Tak ada ruang tamu di gubuk ini. Ruang tamu adalah dapur. 
“Hmm, sedap”. Sarung yang melingkar di pinggang Basri kini menggantung di atas dipan. Kopiah usang keemasan juga bersandar diatasnya. Aroma sedap membuatnya ingin lekas menyantap.

“Mak, Basri mandi di sungai saja ya!” bocah itu berlalu meneteng ember kecil. Tak sempat emak bersuara, bocah itu telah hilang di balik daun pintu. Emak heran kepada Basri. Tak ada yang bisa mencegahnya ke aliran sungai di belakang gubuk itu. Anak tunggal itu terlalu dewasa untuk umurnya sendiri. Ia telah mampu mandiri. Berbagai macam penderitaan ia lalui dengan tegar hati. Ayahnya terbunuh di depannya saat konflik dulu. Tak ada tetesan air mata padanya. Semua hati pasti tersayat ketika memandang Basri kala peristiwa empat tahun lalu itu. Konon peristiwa itulah yang menuntunnya melanjutkan kebiasaannya dulu. Ya, kebiasaan mandi di sungai kala ayah masih ada.
Tak jarang Basri sakit meringkuk di depan dapurnya. Kaki dipan sampai bergetar karena badan Basri menggigil hebat. Banyak orang datang coba untuk mengobati. Mulai dari orang berilmu, teungku sampai mantri. Kata mereka Basri di rasuki ruh jin, setan atau apalah yang berbau mistik dari belakang rumahnnya. Ada pula mereka yang mengatakan bahwa almarhum ayahnya merasuki jasad Basri. Atau hanya bilang demam biasa. Namun Basri tetap tegar. Bocah itu begitu kuat. Dan Basri tetap saja  kerap kali mandi di sungai itu.
Gumpalan-gumpalan awan berarak bagai domba-domba di padang rumput. Perlahan semakin pekat warnanya. Emak mempercepat memangkas rumput liar dipematang sawah. Sawah peninggalan kakek Basri jauhnya sekitar satu jam dari rumah. Mau tak mau, emak harus menggarapnya sendiri. Hanya petakan sawah itu yang menghidupi emak dan putranya. Belum saja kerjaan emak usai, hujan turun menghujam bumi. Bagai bintik-bintik kerikil rasanya, perih menimpa kulit. Hujan ini terlalu deras. Emak menyingkir jauh dari persawahan. Ia tak mau jadi korban jilatan petir seperti dua orang dari desa sebelah kemarin lusa.
Emak hanya terpaku dekat sebuah meunasah kecil. Matanya tak luput dari rintik-rintik hujan yang begitu deras. Gelegar petir sesekali meremangkan pandangan. Ia menggigil sembari mencemaskan nasib Basri. Kemana ia akan lari jika banjir bandang Tangse kemarin kembali memperok-porandakan kampung halamannya ini. Pulang dalam hujan sederas ini juga tak mungkin. Emak harus jalan kaki melawan badai ini. Melewati jembatan dan jalan menanjak yang berlekuk. Langit semakin bergemuruh, sama dengan galau hatinya kini.
Aneh. Hujan sore ini bagai membawa hawa yang aneh. Emak semakin miris. Badai ini tak henti menggoyang-goyang padi. Seperti ingin mengupas bijinya yang baru berair susu. Hujan ini terlalu gaduh. Ini bukan seperti guntur. Bukan juga seperti rintik hujan yang pernah menghantam sang meunasah. “Ya, bukankah ini seperti suara benturan bebatuan”.
Emak semakin miris, ia memelototi pepohonan pinus di kaki gunung itu. Dan juga sungainya. Pepohon itu bergerak. Tak jarang tumbang. Ini, banjir. Ya, banjir lagi. Emak tersedu sedan. Ia berteriak-teriak sembari menunjuk sungai di kaki gunung. Aliran kecoklatan itu menyapu sepertiga desa ini. Meunasah yang disinggahi emak, tak tersentuh genangan air. Hanya terhitung lima tiang listrik jauhnya dari banjir yang menyapu. Banjir itu mengangkut kayu-kayu yang terpotong. Juga yang tercabik. Tak ada jaminan rumahnya tak terbawa air. Tapi bagaimana Basri dan sungai di belakang rumah reot itu.
Aliran deras itu membawa sebongkah pesan. Kayu-kayu gelondongan kembali kepada manusia bertangan bejat. Inilah pepohonan yang mereka keruk setiap hari. Jutaan hektar alam hilang, tersentuh tangan bangsat. Bukan hanya mereka yang berimbaskan dendam, tapi juga bagi yang tak berdosa. Banyak tangis yang pecah hanya karena keserakahan segelintir. Betapa negeri ini terasa zalim. Menutup mata dan telinga atas kesalahan  yang terizinkan.  Hanya ini alat komunikasi dari hati ke hati untuk memimpin negeri. Jelas alam tak bisa berkata-kata, tapi punya cara menyampaikan murka. Namun khalifah alam tak pernah sadar, lupa  pertanggungjawaban amanah yang mereka genggam.
Bagi Emak tak penting apa yang terjadi. Yang teringat hanya Basri yang tinggal seorang diri. Emak melangkah cepat ke arah banjir. Menyusuri jalan yang hilang di tutup air. Semua sibuk menyelamatkan harta dan nyawa sendiri. Ada juga yang masih peduli kepada wanita tua itu. Yang melarang emak kembali ke rumahnya hingga banjir mereda. Tapi emak tetap saja inginkan Basri. Dia ingin mencari Basri.
Wanita tua itu mulai berlari membelah badai. Arus yang deras menelan kaki hingga di bawah lutut. Cipratan air melambung-lambung tinggi saat emak berlari. Ia terjatuh dan kemudian bangkit. Nafas sedikit lega saat sampai di tanjakan. Air tak sampai kesini. Emak masih saja berlari menyeberangi jembatan yang telah miring di tabrak arus. Di belakangnya jembatan itu mulai hilang. Mendentung-dentung berguling kesana kemari. Jembatan hancur berkeping. Tanjakan berkelok konon bagai puing reruntuhan jalan layang. Tinggal setengah badan jalan dan tanah pondasi habis terkeruk air. Bebatuan besar berserakan. Tanah longsor berhamburan. Air juga menembus belokan jalan yang bersaluran air. Lebih curam lagi, tak ada monyet-monyet pengemis yang duduk berkelompok. Tak seperti setiap sore biasanya. Mereka duduk sembari mencari kutu induk. Juga menunggu uluran tangan dari pengendara yang membawa buah-buahan. Sore ini sunyi dari kehidupan. Gaduh oleh alam yang memporak-porandakan.
Emak semakin tergopoh kala melihat seluruh desanya hampir lenyap di kulum banjir. Tanpa pembeda antara sungai serta jembatan. Tak ada juga perbedaan antara rumah dengan sawah. Semua kian jelas, air deras itu sedang melahap desa ini. Emak terus berjalan ke dalam linangan deras. Semakin lama semakin dalam. Rintik-rintik hujan telah hilang, namun rintik air di mata emak semakin deras. Isaknya semakin keras. Suara emak serak memanggil Basri. Tak pernah Basri menjawab panggilan. Hanya raungan minta tolong yang terdengar. Tiba-tiba emak bergetar hebat. Ia tak lagi melihat gubuknya berdiri di sana. Emak tergelincir. Arus menghanyutkan emak walaupun tangannya mengepak-ngepak tuk mendayung. Tak berhasil. Benturan bertubi-tubi menghantam emak. Ia semakin lemah. Mata tak mampu lagi melihat sekitar. Semuanya samar-samar. Hingga semua berubah menjadi titik gelap.
Perlahan mata itu membuka. Secercah cahaya masuk ke retina. Namun bayangan belum dapat terbaca. Pelan-pelan semua warna dapat dicerna. Bocah tujuh tahunnya tertidur di sampingnya. Tapi dimana ini. Semua dinding ini hijau. Hanya jendela plastik yang menembuskan cahaya.
“Bocah ini yang menyelamatkanmu kemarin” Pria berompi putih tersenyum saat emak meminum obat yang di berikannya. Kepala emak masih terasa sangat berat tuk digerakkan. Dua matanya coba di gerakkan menatap wajah penolong. Rasa syukur menyeruak sepenuh jiwa. Kini hasrat untuk cepat sembuh begitu terpancar diraut tuanya. 
Dua hari kemudian, banyak organisasi berkumpul di desa ini, orang-orang berdatangan membawa lambang. Di kardus dan baju tercetak simbul yang sama. Ada juga dari mahasiswa atau pelajar, mereka coba sedikit menebar empati. Bahkan ada yang datang sambil lantang berujar “Ini disebabkan penambang liar yang terjadi di Tangse dan sekitar”. 
Calon-calon pemimpin negeri, sambil berkoar dan memuji diri. Melalui satu dua kotak mie instan mencoba curi simpati, potret-potret penuh harap kemenangan terpampang besar mewarnai. Wajah-wajah itu berlomba menampilkan diri, sosok-sosok yang haus dikenali. Sering air mata kebohongan coba ditumpah disisi pengungsi. Janji-janji terus dikobar, topeng kemunafikan dibalut dengan slogan ‘pembangunan negeri’. 
Mereka berlalu meninggalkan gambar-gambar besar dengan garis senyum tanpa dosa. Masa depan pengungsi tidak lagi menjadi pikiran. Jadwal kompanye untuk mencapai ambisi mereka lebih utama. Tidak demikian dengan emak, tidak pernah peduli siapa mereka. Biarlah gambar-gambar itu menjadi pelapis lantai, atau menutup celah dinding rumah yang telah terhanyut air. Emak terus menata hidupnya bersama Basri. Berharap penerusnya ini menjadi khalifah dibumi, mengikuti jejak Rasulullah yang menjadi inspirasinya. Ya, tidak ingin sebagai wajah-wajah yang menumpang tenar dibalik duka manusia lain.

***

0 komentar:

Posting Komentar