Kamis, 15 Januari 2015

Cerpen: THE BEST SCENARIO

Cipt. Zakiatul Fuadati

Gelap malam menunjukkan seolah peristiwa itu telah tergaris dalam suratan takdir. Segerombolan wajah seram menghantui keluarga kami, rintik hujan di luar terus membasahi bumi. Seiring menampakkan sebuah keluarga ingin mengadu nasib, tapi entah kemana. Dunia terasa sempit. Kezaliman mulai mengancam negeri ini. Perluru terus melaju ke segala arah, riuh suara bom terdengar memenuhi kedua telingaku.
Kini ujung senjata mereka tertancap tepat di wajah Abi. Mataku terbelalak saat menyaksikan semua kejadian yang tak pernah terlintas dalam pikiranku. Dadaku tersesak seakan memberi isyarat nyawa  Abi sudah di ujung peluru.
Tanpa tersadari aku jatuh dalam pengkuan Ummi. Sebongkah kata keluar dari mulut yang kaku.
“Ummi. Abi..., kenapa Abi ? Ada apa dengan Abi ? Abi salah apa, Ummi ?” Deret pertanyaan terus terlontar hingga butiran air mata ummi mengalir lembut atas wajahnya.
“Abi baik-baik aja, Zaid” Dengan terbata-bata Ummi  menjawab.
“Tapi, kenapa mereka membawa Abi”.
Sekejab banyangan Abi menghilang dari pandangan. Sekelompok Zionis Israel telah membawa Abi.
Hatiku terus berteriak hendak kemana kami mengadu. Sesaat kemudian mulut Ummi menggerakkan kata.
“Zaid”.
“Iya Ummi”
“Ayo nak, kita sholat. Allahlah tempat kita mengadu”. Suasana hening mengikuti irama kami bermunajat pada Nya. Jarum jam masih menunjukkan 02.30. Butiran air mata terus mengalir, berzikir memohon bantuan Nya. Suara bom masih terdengar dimana-mana.
Kepongahan Israel membombardir Palestina terus membara. Darah terus meruah ditempat di mana kini aku berada. Dengan dalih menggulingkan kekuatan Hamas, Israel telah menghancurkan rumah sakit, universitas dan gedung-gedung pemerintah bahkan berlanjt ke rumah-rumah penduduk sipil.
Aku tetap menjadi anak Palestina, walaupun kedua orang tuaku berdarah Indonesia. Aku terlahir di kota suci ini, terlebih aku besar dan belajar di sini. Aku harus meneruskan perjuangan Abi. Berjihad, membela agama dari kekejaman zionis.
###
“Zaid ingin menjadi anggota Ikhwan Al-Muslimun, boleh nggak Abi  ?”.
“Menjadi pasukan relawan itu tidak mudah nak. Bukan sekedar duduk dan berdiri. Tapi mereka punya tugas tersindiri, dan itu tidak mudah. Apa kamu benar-benar siap, Zaid”.
“Insya Allah, Zaid ingin seperti pemuda-pemuda palestina lain yang hidupnya begitu bermakna”.
“Kalau itu sudah menjadi pilihan kamu, Abi tidak keberatan. Tapi menjadi pasukan Allahu Akbar itu harus bisa membentengi diri dengan iman dan ilmu”.
Malam beranjak tanpa kompromi. Deru tank sekali-kali memecah hening. Dentuman peluru membangunkan lamunanku. Tanpa terasa air mata berderai begitu saja. Gambaran dua hari lalu saat Abi untuk terakhir kali bercerita tentang gerakan yang didirikan Hasan Al-Banna itu kembali membayang. Itulah cerita terakhir menjelang Abi di bawa paksa oleh zionis Israel.
Perlahan aku beranjak dari tempat tidur. Aku berwudhuk dan menunaikan shalat malam, bermohon kepada Allah atas keselamatan Abi. Keinginanku menjadi pasukan Allahu Akbar semakin menjadi, ditambah dengan semangat untuk mencari Abi hingga ke jalur Gaza. “Aku akan mencoba meluluhkan hati Ummi untuk merestuinya”.
 Berhari-hari ku menapaki jalur Gaza, akhirnya sosok yang sangat aku rindukan tampak terseok di depan mesjid Al-Aqsha. Tentara Yahudi mengitari Abi, bersandar di tiang-tiang mesjid. Jarakku hanya tinggal sepuluh langkah. Air mata Abi menahan langkahku, mengisyarakatkan agar aku berlindung dari penglihatan tentara Yahudi.
Gemetar, penuh amarah dan akhirnya tertegun. Tiga peluru akhirnya bersarang di tubuh yang dialiri darah suci. Aku tidak kuasa menahan air mata menyaksikan yang menimpa Abi. Tapi aku harus kuat untuk dapat melanjutkan jihad Abi. Senyuman terakhir yang yang tergambar di raut cerahnya memantapkan jalanku. Bismillah, ku mulai jalani hari bersama Ummi.
###
Tiga puluh enam tahun perjalanan berat terlewati. Harapan untuk sebuah kesuksesan memompa semangatku untuk terus belajar. Tidak pernah lelah, tidak hendak menyerah. Petuah Abi dan kesabaran Ummi mengantarkanku dalam kegemilangan. Kini namaku bergelar Dr. Zaid Al-Qurthubi. Perjuanganku tidak pernah padam. Kini kulakukan melalui kemampuan pikiranku. Kehadiran seorang buah hatiku kembali mewarnai hadupku. Subhanallah, seakan Allah telah menggantikan yang dulu pernah hilang. Keajaiban ! Suatu skenario tak tertebak. The best scenario dari Nya.
####

0 komentar:

Posting Komentar