Kamis, 15 Januari 2015

Cerpen: DUNIA DIGENGGAMAN

Cipt. Indah Mardhatillah

Waktu seakan lambat berputar. Dua jam mata pelajaran yang akan terlewati dalam proses belajar mengajar ini berlangsung lama. Murid terlihat bosan dengan pelajaran hari ini, sehingga suasana menjadi hening dan lesu. Hanya suara Pak Ilyas terus berpacu dengan gema ruangan berlumur cat biru yang berisi penuh coretan huruf abjad yang telah tersulap menjadi beribu kata.
Pandanganku lurus ke depan, menatap sepetak papan putih yang menempel di dinding kelas. Kebingungan terus melanda saraf otakku, rasanya terjatuh dalam dunia maya. “Bagaimana bisa terhafalkan semua itu”. Pikirku.
Lamunan terus berlanjut. Tanpa kusadari seseorang milirik dan memperhatikan dengan wajah serius. Dua tungkai tangannya memangku dagu, bibirnya diciutkan. Hidung mancungnya yang  berada di antara mata berwarna hitam nampak kembang kempis. Alis tebal berpadu dengan rambut lebatnya mempertegas ketegasannya. 
“Ada yang tidak mengerti ?“ Sayup terdengan suara itu. Aku masih larut dalam angan tanpa menggubris suara bagai bisikan itu. Seakan seluruh panca indraku ikut terhanyut dalam arus yang sama. Sosok simpatik itu masih memperhatikanku. Bagai psikolog ulung seakan dia coba membaca isi otakku. Kali ini dia menatap sambil sesekali menyapu pandang ke arah muridnya yang lain.
“Coba semuanya perhatikan ke papan tulis !”. Aku tersentak mendengar perintah itu. Cepat-cepat aku mengembalikan kesadaranku, tentu saja aku tidak ingin ditegur untuk kedua kalinya. 
 “Hey, kamu ni kenapa sih. Dari tadi ngelamun aja. Stipoku mana ?” Suara Andri teman sebangkuku dengan nada dan volume tinggi kembali membuyarkan fokusku.
“Nih”. Aku mengangkat lengan untuk memberitahu posisi benda itu yang tersembunyi di balik sikuku. Aku tidak berani menoleh. Meski terasa begitu susah kupahami, tapi aku mencoba menerima setiap konsep yang diberikan.
“Siapa yang bersungguh-sungguh pasti bisa”. Ungkapan terterier dan mayoritas ada di lembaga-lembaga pendidikan itu terdengar di telingaku. Semua roh yang sempat terbang kini terkumpul kembali. Paparan ungkapan itu mulai merasuki ulu hati. Seakan pertanyaan yang sempat berkecamuk di kepalaku terjawab sudah. Keyakinan itu tertanam jauh di benakku.
Rajuta kata sarat makna itu bagai sebutir mutiara yang menghiasi berbagai hiasan. Keindahannya mampu membius harapan para insan. Ungkapan itu merupakan motivator ulung  bagiku dalam hasrat menjelajah dunia. Tekad dan tujuan yang telah tergambar mulai runut ku aplikasikan dalam kehidupan. Meskipun tak jarang rasa lelah dan beban menyertai, namun diri telah mengharuskan untuk lebih maju. Layaknya sang petani berusaha menghilangkan perihnya api langit, yang membakar ribuan butiran lemak serta mengaktifkan epidermis lalu mengeluarkan zat sisanya. Lezatnya tatkala keluar biji-biji padi yang memberikan asupan karbohidrat adalah ekspektasinya. “Ingin kuraih nikmat itu, kesungguhan akan mematahkan aral”.
Tidak semudah yang terpikir, selalu ada goda yang menghantui. Keterbatasan diri dalam memahami konsep, menjadikan syetan mudah menghasut. Namun hasrat yang telah menggunung, menjadikan diri pantang menyerah. “Aku harus menjadi musafir ilmu yang mampu mengembalikan  nafsu amara ke dimensi malaikat yaitu dari sisi syaitan ke sisi Tuhan yang Maha Esa”.
“Ada yang bertanya”. Menjelang pelajaran usai, Pak Ilyas memberi kesempatan bagi murid-murid yang ingin bertanya.
“Saya Pak”. Jawabku sambil mengacungkan tangan.
“Maaf Pak, ini di luar pokok bahasan hari ini”
“Ya, silakan”.
“Bagaimana tips untuk selalu mengingat pelajaran yang telah kita pelajari”.
“Hanya satu konsepnya. Lihatlah botol yang mulutnya kecil. Jika kita isi air sekaligus maka dia akan sedikit sekali yang terisi dan sisanya akan tumpah. Sebaliknya jika kita isi secara perlahan maka akan banyaklah air yang terisi dan hanya sedikit yang tumpah. Begitu juga dalam belajar, butuh waktu dan giat secara berkelanjutan”. Kembali untaian konsep teruraikan. Sebaris bibir menebar senyum. Tangan kanan terangkat sejajar dengan bahu masih menegakkan satu telunjuk yang menggabarkan ketegasan. Nada suara yang lantang itu membuatku tercengang. Kembali asaku melambung tinggi. Mengajak sanubari terbang menggapai harapan. Bayangan kesuksesan terlihat lebih nyata. 
“Ekhem. Tumben-tumbenan kamu tanya gitu”. Andri yang dari tadi sibuk menulis sedikit menyikut sikuku.
“Memangnya nggak boleh. Aku mau merubah pola belajarku”. Jawabku semangat.
“Ooo, jadi sekarang mau jadi anak teladan ceritanya. Kenapa nggak sekalian beli aja toko buku biar pande”. Ledek Andri.
“Nggak usah ngejek ya. Tadi Pak Ilyas bilang apa ? Kita belajar harus step by step. Aku yakin pasti bisa”. Terangku penuh semangat.
“Ya ya ya. Percaya deh. Hehehe”. 
Tawa Andri membuat aku jadi jengkel. Ingin aku menonjok bahunya, namun bel istirahat berbunyi. Andri langsung menarik tanganku mengajak ke kantin. Aku terpaksa ikut sahabatku satu ini yang memang hobi makan. Namun jauh di lubuk hati telah tertanam sebuah harapan untuk mampu menjadi yang terbaik. Aku akan terus memotivasi diri agar semua keinginan menjadi kenyataan. Semoga.
***

0 komentar:

Posting Komentar